Keputusan Jokowi tidak melantik Budi Gunawan sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) bakal menjadi bola liar di Senayan. Istana harus memperbaiki komunikasi politik dengan Parlemen.
Wajah Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani tampak datar saja. Hampir dua jam lamanya, ia memimpin rapat tertutup Fraksi PDI Perjuangan, Rabu 18 Februari 2015. Di saat bersamaan, di Istana Negara, Jokowi mengumumkan tentang pengangkatan calon kapolri Badrodin Haiti serta penunjukan tiga pelaksana tugas (Plt) Pimpinan KPK.
"Jangan ke saya, ke Pak Trimed saja," ujar Puan sembari tersenyum saat diminta komentar tetang keputusan Jokowi. Trimed yang dimaksud Puan tak lain Ketua DPP Bidang Hukum dan HAM DPP PDI Perjuangan yang juga Wakil Ketua Komisi III DPR RI.
Trimedya merupakan ikon bidang hukum di partai berlambang banteng moncong putih itu.
"Kami kecewa. Karena sampai tadi kita mengharapkan Presiden melantik Budi Gunawan," kata Trimedya.
Pernyataan yang tak jauh berbeda juga muncul dari Ketua DPP PDI Perjuangan Bambang Wuryanto. Mimik mukanya tampak kecewa. Meski, ia enggan berkomentar panjang.
Menurut Bambang, yang berkompeten mengomentari kegagalan Budi Gunawan dilantik sebagai Kapolri bukan lagi domain Fraksi, namun domain Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri.
Kekecewaan PDI Perjuangan terhadap gagalnya pelantikan Budi Gunawan sebagai Kapolri tentu bukan basa-basi politik. Sumber di internal Senayan mengungkapkan kukuhnya sikap petinggi PDI Perjuangan yang kecewa atas gagalnya pelantikan Budi Gunawan.
"Pemimpin formal PDI Perjuangan masih bersikap keras atas gagalnya pelantikan Budi Gunawan," ungkap sumber tersebut.
Saat ini, wacana yang berkembang di kalangan elit PDI Perjungan, respons politik melalui jalur parlemen menjadi salah satu yang mengemuka.
"Opsi yang paling kuat yakni menggalang hak angket atas gagalnya pelantikan Budi Gunawan," ungkap sumber lainnya.
Dalam Pasal 39 ayat 3 UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD disebutkan hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Jokowi dalam hal ini diduga melanggar UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
Namun, informasi soal opsi politik yang bakal ditempuh oleh PDI Perjuangan melalui hak angket DPR ditepis oleh Ketua DPP PDI Perjuangan Tubagus Hasanudin. Menurut dia, keputusan Presiden Jokowi seharusnya didukung kader PDI Perjuangan.
"Secara pribadi sebagai kader saya akan tetap mendukung penuh keputusan Pak Jokowi tersebut, dengan segala risikonya," kata Hasanuddin di Gedung DPR, Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Jumat 20 Desember 2015.
Menurut dia, isu-isu yang menyatakan bahwa akan ada interpelasi atau hak bertanya yang didorong oleh kader PDI Perjuangan, menurut TB Hasanuddin tidak layak dan sangat merugikan partai.
"Sebagai kader saya akan taat dan loyal kepada partai sesuai dengan perintah Ketua Umum Megawati Soekarnoputri pada 11 Januari 2015 yang disampaikan di hotel Luansa, bahwa apapun yang diputuskan oleh Presiden Joko Widodo harus didukung penuh dengan iklas dan bertanggung jawab oleh semua kader," tandas TB Hasanuddin.
Pilihan langkah politik melalui hak angket memang belum satu kata di internal PDI Perjuangan. Namun, pemimpin formal di internal PDI Perjuangan atau tokoh kunci di partai tersebut masih bersikukuh untuk menempuh langkah politik salah satunya opsi hak angket.
Komunikasi politik PDI Perjuangan dengan sejumlah fraksi di Parlemen telah dirajut.
"PDI Perjuangan mendorong kami untuk gerak terlebih dahulu. Ya kami tidak mau, sebaiknya PDI Perjuangan dahulu yang memulai, kami baru bergerak," ungkap politisi dari salah satu fraksi di DPR RI yang enggan disebutkan namanya. [mdr]