Dulu di kampus dia aktivis dakwah. Kiprahnya papan atas dan penuh wibawa. Namun setelah lulus dia mulai tampak berbeda. Mungkin karena sudah kerja. Lingkungannya tak lagi sama. Kini tampilannya necis ala anak muda. Perhatiannya telah beralih pada ‘haha-hihi’ dan hura-hura. Rambu halal-haram dan ikhwan-akhwat juga sering kali (pura-pura) lupa. Ngaji dan dakwah? Ah, itu masa lalu waktu kuliah! Sungguh dia tersengat racun dunia.
Pada mereka dalam hati kita berkata: Dasar lemah!
Tapi kemudian, akhirnya kita berada di posisi mereka. Lulus kuliah dengan status sepi amanah. Sebagian sudah didelegasi untuk regenerasi, sisanya ditinggal demi melarikan diri. Setelahnya, kita fokus bekerja. Kesibukan merajalela. Pelan tapi pasti, kita belajar menyesuaikan diri: tampilan necis, haha-hihi dan hura-hura, lalu pura-pura lupa. Ngaji dan dakwah tak lagi jadi amal utama. Tak sadar kalau kita sedang tersengat racun dunia.
Untuk beberapa saat, sepekan, sebulan, atau beberapa tahun kita masih saja terlena. Tampak asing untuk dakwah, seperti orang lain yang belum kenal tarbiyah. Jangankan dakwah, tilawah harian saja sudah tidak pernah. Jangankan dakwah, hadir di pengajian rutin saja rasanya ogah. Kita semakin jauh. Kita semakin jatuh.
Semoga saja tiba masa dimana kita bernostalgia. Mengingat waktu dulu kita pernah bermanis-manis dalam dakwah. Mengingat sosok kita dahulu yang lucu, sederhana, apa adanya, namun semangat berlelah-lelah di jalan-Nya. Sebagian diri kita mungkin menganggapnya tak lebih dari kenangan masa lalu. Namun semoga saja masih ada sebagian lagi dari diri kita yang bertanya penuh rindu: Kemana semangat itu?
Mungkin ini saat kita untuk kembali. Masuk ke dalam barisan lagi. Berkutat dengan amanah dakwah lagi.
Kita lekas bercermin dan mendapati sosok kita yang tadi bertanya di seberang sana. Pada tatapannya ada kata-kata: Dasar lemah!
Kelemahan itu adalah bukti, bahwa sudah saatnya kita bertaubat dan memperkuat diri.
[Deddy Sussantho | Limo, 21 Maret 2015]