Oleh: Muhammad A S Hikam*
Jika kita mau dengan jujur menengok ke belakang, kasus seperti insiden Tanjung Balai, Sumatera Utara, bukanlah sesuatu yang baru apalagi langka terjadi di Republik ini. Masyarakat kita yang mengklaim dirinya sebagai masyarakat yang ramah, toleran, sabar, saling menghargai, dan mengedepankan musyawarah mufakat itu, nyatanya kerap menemukan dirinya dalam situasi yang bertentangan secara diametral: mudah marah, intoleran, mudah melakukan kekerasan, dan mengedepankan kekuatan fisik ketimbang dialog utk menyelesaikan persoalan.
Sayangnya, selalu saja ketika terjadi kasus seperti insiden Tanjung Balai ini, dengan sangat cepat tudingan diarahkan kepada aspek-aspek yang superfisial alias ada di atas permukaan, seperti hasutan SARA, provokasi medsos, miskomunikasi antar-kelompok, dan lain sebagainya. Nyaris tidak pernah terjadi kemauan untuk mencoba mendalami mengapa begitu mudahnya anggota masyarakat pluralis seperti di Tanjung Balai yang biasanya hidup dengan harmonis tersebut sontak berubah dan menjadi lokasi tindak kekerasan. Ibarat orang melihat kebakaran sebuah rumah, asal muasal kebakaran hanya dilihat dari soal yang sepele seperti korslet, atau lilin yang sedang menyala dan tersenggol kucing. Dilupakan bahwa sebab yang lebih serius sejatinya ada di balik kejadian-kejadian di permukaan yang sebetulnya hanya merupakan semacam pemicu atau trigger saja.
Kecenderungan seperti ini berimplikasi negatif, karena upaya-upaya penyelesaian konflik sosial seperti kasus Tanjung Balai itu hanya dilakukan secara reaktif, artifisal, berorientasi jangka pendek, dan, yang paling parah, kecenderungan menyalahkan pihak-pihak yang menjadi korban (blaming the victims). Di atas permukaan, berbagai indikator penyebab yang ditunjukkan oleh para aparat negara, mulai dari soal tipisnya kesadaran berPancasila sampai soal miskomunikasi antara warga masyarakat, tidak ada yang salah. Namun ketika kita mencoba menggunakan indikator-indikator tsb untuk menjelaskan terjadinya kasus-kasus yang tampak sama dengan di Tanjung Balai (kekerasan yang terkait lomunitas berbeda agama, misalnya), ternyata tidak cukup relevan juga.
Karena itu, menurut hemat saya, kasus-kasus seperti di Tanjung Balai tsb tidak bisa digebyah uyah atau digeneralisasikan dengan menggunakan penjelasan-penjelasan yang hanya artifisial, normatif, serta berorientasi menyalahkan para korban. Perlu kemampuan utk menganalisis persoalan secara kasus per kasus serta melibatkan berbagai dimensi termasuk persoalan struktural yang ada dalam komunitas tsb. Kendati barangkali ada berbagai kemiripan dalam kasus yang di permukaan tampak sama, tetapi tanpa dilakukan suatu tilikan yang mendalam, kesimpulan dan rekomendasi penyelesaian tidak akan mendalam dan efektif.
Menyelesaikan kasus seperti Tanjung Balai, Tolikara, Sampang, dll yang di permukaan terkait dengan komunitas beragama yang berbeda, tidak mungkin hanya didasari oleh cara pandang kasuistis dan normatif belaka. Diperlukan penyelidikan yang mendalam dengan melibatkan para pemangku kepentingan di daerah konflik secara terbuka dan partisipatif. Sebab bisa jadi soal protes terhadap speaker itu hanya merupakan trigger yang menciptakan konflik terbuka, sementara ada suatu persoalan sosial, ekonomi, dan politik yang lebih mendasar yang selama ini dirasakan oleh masyarakat namun tak mendapat solusi yang efektif. Seperti lahar gunung berapi yang lama terakumulasi di dalam dan kemudian meletus ketika momentum tiba.***
___
*dari fb penulis