Perbedaan Trump dan Hillary Clinton Terkait Palestina


Pemilihan umum Presiden (Pilpres) Amerika Serikat 2016 akan diadakan pada hari Selasa, 8 November 2016 dan menjadi pilpres empat tahunan ke-58.

Dua kandidat akan bertarung: Hillary Clinton (Partai Demokrat) VS Donald Trump (Partai Republik).

Sikap masing-masing terhadap isu Palestina

(1) Bisa dipastikan, peran presiden Amerika akan tetap terkungkung oleh konstitusi dan perimbangan kekuatan politik dan perkembangan internasional.

(2) Namun kecenderungan dan pandangan pribadinya akan tetap memainkan perang penting dalam hal ini. Di sisi lain, pemilu presiden Amerika menunjukkan bahwa sikap dan langkah politik selama kampanye tidak selalu menjadi komitmen presiden terpilih nantinya.

(3) Kedua kandidat presiden Amerika kali ini masih sangat berpihak kepada Israel jika dilihat dari statemen dan pidatonya, terutama di depan kelompok penekan Yahudi. Namun frame pemikiran masing-masing kandidat berbeda. Sebab Trump kelihatan lebih cenderung kepada tendensi isolasi urusan Amerika dalam negeri tanpa intervensi urusan luar negeri. Sementara Hillary Clinton lebih cenderung kepada intervensi AS dalam pentas forum-forum internasional.

(4) Sementara di level Palestina yang terpengaruh oleh politik level internasional, keduanya akan melakukan tekanan kepada pihak Palestina, Hamas dan Jihad Islami akan menjadi fokus tekanan. Sehingga kedua capres dipastikan harus berhati-hati dalam menyikapi miliu Timur Tengah.

(5) Dalam kampanye politik Amerika, statemen terkait urusan dalam negeri dan dunia internasional tidak selalu menjadi acuan. Sebab, kampanye bertujuan mendulang dukungan dan itu akan berbeda jika sudah menjabat presiden saat menghadapi kasus tersebut secara riil. Ciri khusus kebijakan politik luar negeri terkait Palestina masing-masing tidak keluar dari ciri umum dari kebijakan terkait kasus lainnya.

(6) Selain kurang berpengalaman dibanding Hillary Clinton (mantan Menlu AS), Trump cenderung lebih kepada politik isolasi dan tidak intervensi terhadap urusan luar negeri, cenderung meminta negara sekutu Amerika baik di NATO atau Jepang atau Negara-negara Teluk untuk ikut menanganggung beban biaya dalam hubungan internasional. Trump juga mengkritik keras PBB sebab AS menanggung biaya besar tanpa ada hasil riil. Trump juga menyerukan agar melarang muslim masuk AS dan paling keberatan dengan model hubungan Saudi – AS.

(7) Selain itu, Trump menolak keras kesepakatan nuklir Amerika – Iran dan akan berusaha menghadang kesepakatan ini terutama terkait beban keuangan yang ditanggung AS dalam kesepakatan itu. Ia juga menuding Amerika terperangkap dalam perangkap Iran. Di depan lobi Yahudi AIPAC Maret 2016 lalu, Trump menyatakan, kesepakatan dengan Iran adalah bencana sehingga harus dibatalkan. Ia menuding Iran mendanai Hamas dan Jihad Islami serta Hezbolah. Jaringan terorisme Iran harus dibubarkan.

(8) Sementara Hillary Clinton lebih cenderung kepada tendensi intervensi luar negeri, meski ia menyesalkan dukungannya terhadap agresi Irak saat menjadi anggota Senat Amerika. Hillary Clinton juga mendukung intensitas serangan ke Suriah dan Irak untuk menghabisi ISIS dan meminta agar udara Suriah ditetapkan sebagai kawasan “larangan terbang”.

(9) Namun perbedaan sikap dua kandidat terkait persoalan Palestina tidak besar. Trump pernah menyatakan akan berada di posisi netral dalam konflik Palestina – Israel. Ini yang menjadi  katakutan Israel. Namun kemudian Trump menjelaskan di depan AIPAC (lobi Israel), “Kami tak mungkin netral, kami berada di pihak Israel." Statemen Trump pertama hanya untuk mendorong Palestina agar ikut perundingan dengan Israel.

(10) Sementara Hillary Clinton, selama menjadi Menlu periode 2009-2013 terlihat sejumlah perbedaan dengan Israel terutama terkait sikap Amerika yang mengkritik pembangunan permukiman Yahudi di wilayah Tepi Barat.  Israel sebagai pondasi menyelesaikan masalah.

(11) Kedua kandidat meminta agar digelar perundingan Palestina. Keduanya, tidak ingin peran tertentu dari PBB. Ini berarti soal Al-Quds, pengungsi Palestina dan perbatasan dibahas dalam perundingan antara otoritas Palestina dan Israel. Dengan kata lain Israel akan dibiarkan melenggang menekan Palestina untuk mengeruk keuntungan dari perundingan.

(12) Trump menilai, peran Amerika harus terbatas kepada perundingan Israel – Palestina sebagai fasilitator negosisasi (Trump juga pernah mengusulkan di tahun 2014 agar warga Palestina dievakuasi ke wilayah Puerto Riko dan memberikan tempat tinggal dan kerja di sana. Wilayah yang 1000 mil lebih luas dari Tepi Barat dan Jalur Gaza. Namun usulan ini tidak serius.)

Berdasarkan hal-hal itu; suksesi kursi kepresidenan kepada siapapun, Hillary Clinton atau Trump, bisa bermakna sebagai berikut:

1. Jarak politik antara dua kandidat dan sikap Israel sangat tipis. Mungkin persoalan permukiman yahudi di Palestina mungkin akan paling banyak dimensinya dalam jarak ini.

2. Kemungkinan kecil bahkan tidak mungkin ada tekanan riil dari kedua kandidat terhadap Israel baik dengan menghentikan permukiman yahudi atau menganulir penggabungan Al-Quds (Jerusalem) ke wilayah Israel atau penentuan perbatasan atau interaksi (diplomasi) dengan gerakan perlawanan Palestina secara langsung. Hal ini didasarkan kepada struktur politik Amerika dan program kampanye dari kedua kandidat.

3. Bisa jadi Hillary Clinton lebih mungkin mengefektifkan “inisiatif perdamaian Arab” atas konfliknya dengan Israel. Namun sosok wanita Amerika ini akan berusaha menyesuaikan sebagian pasal inisiatif agar lebih diterima oleh Israel. Bisa jadi juga akan menekan negara-negara Arab agar lebih terbuka dan melakukan normalisasi dengan Israel, terutama negara-negara Kerjasama Teluk.

4. Trump bisa (jika menang) akan semakin menekan negara-negara Teluk untuk menanggung beban keuangan. Bisa jadi ia akan mendorong mereka untuk sedikit mengekang bantuan kepada Otoritas Palestina agar otoritas ini semakin memberikan konsesi seperti juga akan memperketat prosedur keuangan kepada gerakan-gerakan perlawanan Palestina di Gaza.

5. Dewan Keamanan PBB tidak akan memiliki pengaruh berarti dalam proyek perundingan penyelesaian damai baik Hillary Clinton atau Trump yang menang. Ini berarti DK PBB akan membiarkan pihak Palestina menghadapi perimbangan kekuatan yang tidak imbang.

6. Imbas chaos Arab akan lebih banyak menjadi perhatian pihak Amerika (siapapun yang menang) dengan mengorbankan kasus Palestina.

Sumber: Pusat Informasi Palestina