[portalpiyungan.com] Menurut Jean Paul-Sartre manusia "dikutuk untuk bebas". Sartre mengatakan, “ketika manusia diturunkan ke dunia, dia bertanggung jawab atas semua perilakunya.”
Kebebasan dalam paham eksistensialisme Sartre adalah sebuah keniscayaan. Manusia bebas menentukan dirinya sendiri, tanpa intervensi dan campur tangan pihak mana pun, termasuk—menurut Sartre yang atheis—Tuhan.
Sartre, cendekiawan kebanggaan Prancis, yang saklek dengan ideologi dan prinsipnya—termasuk dengan menolak hadiah Nobel—bisa jadi akan kecewa dengan kebijakan kota-kota di negaranya yang "memperkosa" kebebasan: melarang burkini.
Ada 15 kota di Prancis yang mengharamkan penggunaan pakaian renang yang menutupi seluruh tubuh. Alasannya, pakaian itu adalah bentuk penindasan dan pemaksaan kehendak terhadap umat Islam, tidak sesuai dengan budaya Prancis.
Terlebih lagi, menurut Prancis, burkini adalah perlambang ekstremisme beragama yang bisa memicu kekerasan.
Artinya, wanita Muslimah yang berhijab jika ingin berjemur, haruslah menggunakan pakaian renang, memperlihatkan lekuk tubuh dan rambut.
Pelanggar bisa dikenakan denda atau dipaksa melepaskannya, seperti yang terjadi terhadap wanita malang di kota Nice.
Larangan ini adalah kelanjutan dari kebijakan Prancis di tahun 2010. Saat itu pemerintah Nicolas Sarkozy adalah yang pertama di Eropa melarang cadar atau burka. Kini Sarkozy yang akan maju jadi capres Prancis mengatakan burkini adalah "BENTUK PROVOKASI".
Sartre berpendapat kebebasan itu mutlak. Kebebasan ini juga diabadikan Prancis dalam slogannya yang masyhur "Liberté, égalité, fraternité"—kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan.
Jika kebebasan diagungkan di Prancis, bukankah ber-burkini adalah pengejawantahan dari kebebasan itu sendiri?
Bukankah Muslimah bebas menutupi tubuh mereka, seperti halnya wanita-wanita Prancis bebas mengumbar aurat?
Kebebasan bukan hanya milik wanita Barat bukan?
Wanita Muslimah juga seharusnya punya kebebasan, setidaknya bebas dari kekangan norma yang mengungkung wanita di Barat, yaitu norma yang mengatakan bahwa wanita yang menutup tubuhnya tidak bebas. Padahal sebaliknya, mereka bebas sebebas-bebasnya.
Lingkaran setan
Alasan lain Prancis melarang burkini adalah menolak ekstremisme dan terorisme serta mencegah kekerasan. Benarkan demikian?
Abu Ammar Yasir Qadhi, ulama keturunan Pakistan asal Amerika, dalam akun Facebook-nya mengatakan kebijakan ini akan membuat Muslim termarginalkan. Padahal, lebih dari 7 juta umat Islam di Prancis telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari masyarakat negara itu.
Termarginalkan memunculkan kemarahan. Kemarahan memunculkan kekerasan. Kekerasan memunculkan stereotip. Stereotip memunculkan kebijakan yang memarginalkan. Begitu seterusnya, lingkaran setan.
Bagaimana dengan HAM, bukankah memakai burqa termasuk dalam bagian keyakinan beragama yang tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB? Bukankah Pasal 9 dari Konvensi HAM Eropa mengetengahkan soal "kebebasan berpikir dan beragama?"
Pada tahun 2014, Mahkamah HAM Eropa memutuskan larangan burqa di Prancis tidak bertentangan dengan hak asasi manusia karena dianggap cara pemerintah menyatukan warga dan peleburan budaya menjadi satu, yaitu budaya Barat.
Asma T. Uddin, direktur strategi di Pusat Kebebasan Agama dan Islam di Washington dalam tulisannya di New York Times, Rabu, 24 Agustus 2016 lalu, mengatakan keputusan ECHR tidak adil karena hakim-hakimnya adalah perwakilan negara-negara anggota, sarat kepentingan golongan.
Dia melanjutkan, keputusan ini membuktikan ECHR telah "menggunakan HAM untuk membatasi HAM."
Seharusnya Prancis bisa meniru Indonesia, negara berpopulasi 250 juta orang dengan ribuan kebudayaan di dalamnya.
Beragama di Indonesia sungguh nikmat.
Di negara ini, umat beragama bebas beribadah sesuai dengan keyakinan mereka. Berjilbab atau tidak berjilbab dilindungi dalam Pasal 29 UUD 1945. Ada beberapa gesekan memang, namun hal ini sifatnya isolated, tidak berkembang jadi isu nasional yang meresahkan.
Barangkali sudah waktunya Prancis mengubah slogannya, dari "Liberté, égalité, fraternité" menjadi "Bhineka Tunggal Ika".
Sumber: CNN