Ada perubahan cukup menonjol yang terlihat di barisan kelompok masyarakat yang dulu habis-habisan mendukung Joko Widodo alias Jokowi dalam Pilpres 2014.
Praktisi media, Joko Intarto, dalam status di akun Facebook miliknya, menganalisa fenomena "fans" Jokowi yang mulai toleran terhadap kritik yang dialamatkan kepada Jokowi. Situasi tersebut sangat berbeda dengan masa Pilpres lalu dan di hari-hari pertama pemerintahan, di mana setiap orang yang mengkritik Jokowi pasti menuai hujan "bully".
"Sekarang mengkritisi Jokowi mah asyik-asyik saja," tulisnya.
Analisa Joko Intarto yang biasa disapa JTO, perubahan ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, kontrak Jasmev (jaringan media sosial relawan pendukung Jokowi) sudah berakhir. Jadi tidak ada dana lagi dari Jokowi maupun sponsornya untuk para pemilik akun robot dan akun palsu yang tidak jelas untuk mem-bully pengritik Jokowi.
Analisa kedua, para pemuja Jokowi mulai kecewa karena merasa telah salah pilih, dan kini memilih tiarap karena malu berat.
Ketiga, para pemuja Jokowi kebingungan untuk membela pujaannya karena tidak ada bahan baru yang bisa diolah untuk pencitraan.
"Blusukan sebagai andalan hanya begitu-begitu saja. Masuk got, nyebur sawah, selfie di pasar. Kuno banget. Tidak ada ide baru," sebut dia.
Atau, masih kata JTO, para pemuja Jokowi mulai kelimpungan dengan harga kebutuhan pokok yang tetap tinggi walau harga BBM dinaikkan atau diturunkan, walau tetap lebih mahal dari harga sebelumnya.
"Elite pemuja Jokowi yang berharap dapat posisi penting di kabinet maupun di BUMN gigit jari karena kalah bersaing dengan sesama pendukung yang beruntung. Walau, mungkin saja mereka mengeluarkan modal lebih banyak," terangnya.
Mungkin juga, para pemuja Jokowi sudah putus asa karena terlalu sulit untuk mempertahankan Jokowi pada posisinya sebagai presiden.
Kalau demikian kenyataannya, lanjut JTO, bisa jadi benar kata para pengamat yang memprediksi rezim Jokowi-JK hanya akan bertahan paling lama satu tahun.
"Sudah 100 hari pemerintahan berjalan, hanya program pencitraan dan penyengsaraan rakyat yang sukses dilaksanakan," demikian JTO. [rmol]
Praktisi media, Joko Intarto, dalam status di akun Facebook miliknya, menganalisa fenomena "fans" Jokowi yang mulai toleran terhadap kritik yang dialamatkan kepada Jokowi. Situasi tersebut sangat berbeda dengan masa Pilpres lalu dan di hari-hari pertama pemerintahan, di mana setiap orang yang mengkritik Jokowi pasti menuai hujan "bully".
"Sekarang mengkritisi Jokowi mah asyik-asyik saja," tulisnya.
Analisa Joko Intarto yang biasa disapa JTO, perubahan ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, kontrak Jasmev (jaringan media sosial relawan pendukung Jokowi) sudah berakhir. Jadi tidak ada dana lagi dari Jokowi maupun sponsornya untuk para pemilik akun robot dan akun palsu yang tidak jelas untuk mem-bully pengritik Jokowi.
Analisa kedua, para pemuja Jokowi mulai kecewa karena merasa telah salah pilih, dan kini memilih tiarap karena malu berat.
Ketiga, para pemuja Jokowi kebingungan untuk membela pujaannya karena tidak ada bahan baru yang bisa diolah untuk pencitraan.
"Blusukan sebagai andalan hanya begitu-begitu saja. Masuk got, nyebur sawah, selfie di pasar. Kuno banget. Tidak ada ide baru," sebut dia.
Atau, masih kata JTO, para pemuja Jokowi mulai kelimpungan dengan harga kebutuhan pokok yang tetap tinggi walau harga BBM dinaikkan atau diturunkan, walau tetap lebih mahal dari harga sebelumnya.
"Elite pemuja Jokowi yang berharap dapat posisi penting di kabinet maupun di BUMN gigit jari karena kalah bersaing dengan sesama pendukung yang beruntung. Walau, mungkin saja mereka mengeluarkan modal lebih banyak," terangnya.
Mungkin juga, para pemuja Jokowi sudah putus asa karena terlalu sulit untuk mempertahankan Jokowi pada posisinya sebagai presiden.
Kalau demikian kenyataannya, lanjut JTO, bisa jadi benar kata para pengamat yang memprediksi rezim Jokowi-JK hanya akan bertahan paling lama satu tahun.
"Sudah 100 hari pemerintahan berjalan, hanya program pencitraan dan penyengsaraan rakyat yang sukses dilaksanakan," demikian JTO. [rmol]