Antara HTI, Demokrasi dan Pemilihan Gubernur DKI


Oleh: Rofi Munawwar*

Bulan Februari  2016 media sosial diramaikan berita wali kota Bogor Bima Arya yang meresmikan kantor DPD Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Kompas.com bahkan dengan sinis, membuat judul “Hadiri Peresmian Kantor HTI, Bima Arya Dikritik Netizen”. Sedangkan, Sindonews dengan tajuk “Gara-gara Resmikan Kantor HTI, Warga Bogor Kecam Bima Arya”.

Tentu, hadirnya Bima Arya ke acara apapun hak yang bersangkutan. Apalagi ia adalah seorang pimpinan untuk orang banyak.

Hanya saja, yang menarik kehadiran Bima Arya pada acara HTI menjadi multi tafsir dan bisa melahirkan banyak pendapat.  Apalagi sebelumnya, dalam sebuah terbitan resmi, Buletin Al-Islam, HTI  pernah membuat judul (maaf) agak sinis, “Pepesan Kosong Pilkada Serentak” yang isinya menolak diselenggarakannya Pilkada.

Tulisan tersebut bahkan sempat menimbulkan kritik dari Cagub DKI Jakarta, Dr. Adhyaksa Dault.

Di masyarakat (utamanya di jagad Medsos),  kehadiran Bima Arya dalam peresmian Kantor HTI menjadi bahan tertawaan. Bukannya, Bima Arya adalah pejabat Kepala Daerah yang ditetapkan dari hasil Pilkada 2013?

Dalam situs resmi HTI juga, dijelaskan yang hadir dalam acara itu bukan hanya Wali Kota Bogor. Tampak hadir pula Ketua DPRD Bogor, Sekda Kota Bogor dan Danrem 061 Suryakancana.

“Kami memberikan support untuk memerangi kebathilan dan kemungkaran di Kota Bogor,” tegas Bima Arya yang bertindak sebagai keynote speaker acara tersebut. [Pemkot Bogor Bersinergi Bersama HTI Perangi Kemaksiatan, http://ift.tt/18u5czq, 10 Februari 2016]

Wajar muncul banyak pertanyaan. Ada apa dengan HTI? Apa mungkin sudah mulai lentur dengan sistem demokrasi yang selalu ia kritisi selama ini?

Selain itu, selama ini, sikap alergi HTI terhadap demokrasi sedikit banyak telah membuat banyak gesekan di dalam tubuh umat Islam sendiri. Sangat disayangkan HTI (yang sejauh ini saya kenal sangat kreatif dalam dakwahnya), dalam waktu yang bersamaan, banyak juga umat Islam yang nyinyir dengannya.

Penulis bukan bersikap anti dengan ide HTI yakni menegakkan Khilafah.  Sebab tak ada umat Islam sedunia yang menolak jika ada khilafah ditegakkan. Masalahnya, mengapa tidak memanfaatkan saja kehadiran demokrasi menjadi alat untuk tujuan utamanya. Tentu, soal inipun (demokresi, red) masih membutuhkan perdebatan panjang.

Penulis hanya berpendapat bahwa sesungguhnya lawan khilafah bukanlah demokrasi walaupun keduanya jelas sekali perbedaannya.

Meminjam istilah Dr. Adian Husaini, istilah “demokrasi” tidak tepat didikotomikan dengan istilah “khilafah”. Tetapi, lebih tepat, jika “demokrasi” versus “teokrasi”. Sementara sistem khilafah berbeda dengan keduanya.

Sebagian unsur dalam sistem khilafah ada unsur demokrasi (kekuasaan di tangan rakyat) dan sebagian lain ada unsur teokrasi (kedaulatan hukum di tangan Tuhan). Membenturkan keduanya, kata  Adian, jelas tidak tepat.

Masih menurut Dr. Adian, dakwah Islam ini juga bisa berkembang karena demokrasi yang menerapkan kebebasan berpendapat. Maka, Hizbut Tahrir juga bisa berkembang ke negara-negara yang menganut sistem demokrasi; seperti di Indonesia, AS, Inggris, dsb, karena ada demokrasi dan hak menyatakan kebebasan berpendapat.

Bandingkan dengan di Arab Saudi dimana HT tidak bisa bebas bergerak. Karena itu, demokrasi memang harus dimanfaatkan, selama tidak bertentangan dengan Islam. Bahkan saat HTI menjadi ormas, itupun juga sedang memanfaatkan sistem demokrasi, karena sistem keormasan di Indonesia memang “demokratis”.

Permasalahan kita bukan semata-mata karena sistemnya yang rusak. Tapi lebih kepada penguasa kita yang rusak. Bukankah,  kemungkinan besar sistem yang rusak bisa diperbaiki oleh penguasa yang benar dan mustahil sebaliknya. Maksudnya sistem yang benar saja bisa jadi rusak oleh pemimpin yang tidak benar apalagi sistemnya sudah rusak dari sananya.

HTI dan Pemilihan Gubernur DKI

Nah, momentum pemilihan gubernur DKI menjadi wasilah (sarana) yang seharusnya baik bagi HTI untuk ikut terlibat melahirkan cita-cita pemimpin Muslim, setidaknya itu dulu sebelum adanya khilafah.

Jika tidak, sikap memilih diam bagi HTI itu jauh lebih mulia daripada sikap ambigu yang berpotensi salah paham dan ujungnya melahirkan pecahnya ukhuwah di kalangan umat Islam sendiri.

Seperti kasus Wali Kota Bogor Bima Arya dan HTI, dimana sikap ambigu antara menolak demokrasi di satu sisi, namun menikmati buah demokrasi di lain sisi. Inilah bentuk perhatian penulis pada HTI.

Momentum pemilihan gubernur DKI Jakarta ini juga bisa saja menjadi ajang persatuang umat Islam Indonesia. Sebuah gagasan yang cerdas yang diberi nama konvensi gubernur Muslim,  yang pemilihan penguasa diserahkan dan dibimbing oleh para alim ulama dan Habaib, termasuk para tokoh dan cendekiawan Muslim. Mereka ditampilkan lebih banyak ketika kepentingan politik memerlukannya.

Kita sadari bahwa, sudah lama umat Islam trauma terhadap hukum (baca: peraturan perundang-undangan) yang dibuat dan merugikan umat. Karena memang hukum adalah produk politik. Tentunya lebih berpihak pada mereka yang memiliki kekuasaan (power).

Realita selama ini memang kekuasaan itu masih belum dekat dengan umat. Kekuasaan yang absolut, ternyata juga lebih dekat dengan penyalahgunaan wewenang (abuse of power), seperti perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme.

Lebih istemewa lagi, usaha-usaha umat memilih gubernur Muslim adalah langkah yang perlu didukung. Artinya, persatuan umat lebih mudah dieratkan. Jika kita selama ini sering terkotak-kotak karena perbedaan mazhab, kemungkinan besar kita bisa bersatu dengan satu pemimpin yang dipilih oleh para orang berpengaruh tadi.

Masalah Jakarta di masa depan bukan hanya tentang “Muslim pilih Muslim”, tapi tentang membangun Jakarta. Bukan “pembangunan” fisik model jalan tol, fly over, kereta cepat atau sekolah. Tetapi lebih kepada “pembangunan” manusia, menjadi manusia seutuhnya. Selaras pesan “bangunlah jiwanya, bangunlah badannya” dalam lirik Indonesia Raya.

Membangun manusia yang anti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Membangun manusia yang beradab. Membangun manusia yang bermanfaat bagi negara dan umat manusia seluruhnya. Membangun manusiaseutuhnya.

Kita berharap dari Jakarta lahir keadilan, yang membuat persatuan, hingga menjadi kekuatan. Dan karena lahir dari ibu kota, maka mudah menyebar ke daerah-daerah. Bahkan, dapat mempengaruhi negeri ini. Membangun adab, akhlaq, rasa adil adalah nilai nilai islam dan bagian dari syariah, sesuai cita cita HTI melahirkan khilafah. Kita mulai dari Jakarta!

___
*Penulis alumni Madrasah Aliyah (MA) Hidayatullah Jogjakarta tahun 2015. Rubrik MIMBAR dikhususkan untuk para santri, pelajar, mahasiswa dan penulis pemula

Sumber: Hidayatullah