Cina rajin menggelontor uang ke Indonesia. Pemerintah dan swasta kebagian miliaran dollar. Apa maksudnya?
Selama KAA Jokowi tak menyembunyikan keakrabannya dengan presiden Cina Xi Jinping. Bagaimana tidak, selama perhelatan besar itu berlangsung, Jinping selalu berada di tempat paling terhormat. Dia selalu di sebelah kanan Jokowi, baik ketika duduk maupun berdiri.
Saingan utama Jinping, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe pun tampak bagai sekadar pelengkap. Dia tampak dicuekin karena Jokowi sering asyik berbicara dengan Jinping. Maka pantas kalau Abe menyesali kehadirannya di KAA. Dubes Jepang di Indonesia ditegur karena tidak memberi peringatan dini.
Kemesraan Jokowi-Jinping jelas tak lepas dari pertemuan khusus mereka di sela KAA. Dalam pertemuan tersebut Jinping menawarkan kredit sebesar US$ 50 miliar, setara dengan seperempat anggaran belanja pemerintah, untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia. Sebuah bantuan yang dipicu oleh ambisi Jokowi membangun lusinan pelabuhan dan bandara, ribuan kilo meter jalan tol dan rel kereta api, dan pembangkit listrik 35 ribu megawatt.
Dana tersebut berasal dari dua bank BUMN Cina yaitu China Development Bank dan Commercial Bank of China. Kedua bank ini kini juga tengah bersiap menghimpun dana untuk menghadapi kemungkinan bila ternyata nanti – kemungkinan Desember – pemerintah RI memilih Cina, bukan Jepang, sebagai pelaksana pembangunan transportasi kereta api super cepat Jakarta-Surabaya.
Ternyata swasta juga dibanjiri utang dari Cina. Paling spektakuler tentu saja Grup Sinar Mas. Bulan lalu, salah satu konglomerat terbesar di Indonesia ini menandatangani kredit senilai US$ 1,5 miliar dengan China Development Bank (CDB) dan ICBC Financial Leasing Co. Ltd. Utang ini akan dipakai untuk membangun pembangkit listrik, peningkatan kapasitas produksi bubur kertas dan kertas, dan industri telekomunikasi.
Untuk UMKM, Bank of China telah menjanjikan kredit sampai Rp 20 triliun. Dengan syarat, menurut ketua Indonesia Business Council Alim Markus, harus berorientasi ekspor. Markus juga mengungkapkan bahwa pihak Cina juga bersedia memberikan bimbingan teknis.
Lalu, apa sesungguhnya yang diharapkan oleh Cina dari penggelontoran dana tersebut?
Keuntungan yang sudah di depan mata adalah dari suku bunga. Sedangkan keuntungan lainnya berasal dari proyek-proyek pembangunan yang diserahkan kepada Cina. Apalagi, sama dengan kreditor lain, Cina juga akan menggunakan produk-produknya sendiri untuk menggarap proyek tersebut. Berbeda dengan negara maju, Cina biasanya juga membawa serta para buruh dari negaranya.
Sedangkan pemberian kredit kepada swasta, selain beruntung dari suku bunga, Cina bisa memperkuat jaringan bisnisnya di Indonesia. Maklum, orang-orang keturunan Cina di luar negeri memiliki kecintaan dan peran cukup besar bagi pembangunan tanah leluhur mereka. Sumbangsih mereka bahkan tak hanya terbatas di bidang ekonomi tapi juga intelektual.
Sejak liberalisasi ekonomi dicanangkan oleh Deng Xiaoping beberapa puluh tahun silam, para milarder keturunan Cina di Asia Tenggara, Amerika Serikat, Kanada, Inggris, dan Australia berbondong berinvestasi di tanah leluhur. Salah satunya adalah Salim Group, yang kini menjadi pemiliki COSCO Property Group yang berbasis di Shanghai.
Sekitar US$ 500 juta dihabiskan oleh Salim untuk mengakuisisi raksasa properti ini. Sekarang COSCO Salim Group Co., Ltd. Bergerak di bidang real estate, penyewaan dan penjualan rumah. Manajemen property, dan pasok makanan. Selain itu, COSCO juga memiliki sejumlah pusat perbelanjaan, dan gedung pertemuan.
Di bidang intelektual, sudah lama terungkap bahwa para ilmuwan keturunan Cina di negara-negara suka menyumbangkan ilmu mereka ke negara leluhur, baik secara sah maupun tidak. Salah satunya dilakukan oleh Greg Chung, seorang insinyur Boeing yang sedang mengerjakan proyek pesawat ulang-alik NASA. Pada 2009 dia terbukti di pengadilan menjual dokumen berisi informasi rahasia kepada Cina.
Lalu apa yang membuat risau?
Data di BKPM menunjukkan bahwa Cina tergolong negara yang ibarat ‘terlalu banyak petir kurang hujan’. Lihat saja, selama periode 2005-2014, realisasi investasi Cina hanya hanya 7% dari rencana. Dengan kata lain, dari 10 investor, tak sampai satu yang sungguh-sungguh merealisasikan rencana investasinya di Indonesia.
Maka, bila proyek-proyek infrastruktur sudah terlanjur diserahkan ke Cina, dan dana yang dijanjikan tak terealisasikan, yang rugi tentu Indonesia. Proyek-proyek tersebut bakal makin terlunta-lunta kalau investor atau kreditor lain tak berselera melanjutkannya. Bisa jadi, kasus monorail yang tak menentu selama bertahun-tahun terulang dalam pembangunan infrastruktur.
Lagipula, alasan untuk berutang ke Cina juga tak jelas. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro sendiri sudah berulang kali menyatakan bahwa kenaikan harga BBM akan memberi tambahan pemasukan sebesar Rp 100 triliun ke kantung pemerintah, dan akan dipakai untuk membangun infrastruktur. Sedangkan Jokowi sejak masa kampanye berjanji akan mengurangi utang pemerintah.
Maka, kalau sekarang pemerintah sudah berancang-ancang untuk berutang demikian besar kepada dari Cina, pantas dicurigai bahwa sesungguhnya konsep dan rencana pembangunannya amburadul. Apalagi pemerintah sekarang juga sedang berburu utang ke negara lain, lembaga keuangan multilateral, dan pasar komersial,
Anggota Badan Anggaran DPR yang juga di Komisi IV DPR, Andi Akmal Pasluddin sangat kaget setelah membaca laman media yang menyebut Indonesia menerima pinjaman dari Cina sebesar 50 Miliar dolar AS atau setara Rp 625 triliun. Andi pun mempertanyakan kemana dana pengurangan subsidi BBM yang dulu disebut akan dialihkan ke pembangunan infrastruktur, lebih seperempat belanja negara dari APBN 2015.
(Gigin Praginanto/IndonesianReview)
Baca juga: Hanya Dalam Setahun, Utang Luar Negeri Indonesia Kepada Cina Meroket!