Said Aqil Siradj dan Halusinasi Ancaman Wahabi


Said Aqil Siradj dan Halusinasi Ancaman Wahabi

Oleh: Dr. Slamet Muliono*

Merebaknya kelompok sesat, radikalisme dan terorisme telah dijadikan wacana. Bahkan wacana ini diseret menjadi hantu dan ancaman bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sasaran tembak dan bidikan atas wacana itu, sepertinya sengaja dibuat dan diblow-up sedemikian rupa, guna diarahkan kepada satu kelompok yang disebut Wahabi. Untuk memperkuat proposisi itu, berbagai label dan simbol sengaja diciptakan untuk membuktikan bahwa Wahabi benar-benar sebagai ancaman keutuhan NKRI ini.

Setelah berhasil mempersonifikasi Wahabi sebagai sebuah gerakan yang mengancam NKRI, maka slogan yang sama terus diletupkan agar Wahabi benar-benar sebuah ancaman bersama. Ada beberapa hal yang menjadi tanda tanya besar dan harus segera dijawab.

Pertama, benarkah Wahabi sebagai ancaman terbesar bagi NKRI. Kedua, apakah bentuk ancaman dari gerakan Wahabi ini. Ketiga, apakah Wahabi telah menjual aset negara kepada pihak “asing” sehingga keberadaannya membahayakan NKRI. Keempat, apakah Wahabi sedang memecah belah umat ke dalam berbagai aliran dan golongan.

Menjawab Said Aqil Siradj

Empat pertanyaan besar ini diajukan untuk menjawab gencarnya pernyataan Said Aqil Siraj, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Said bahkan mendesak Kapolri, Jenderal Pol. Tito Karnavian, untuk membubarkan organisasi yang menurutnya membahayakan NKRI ini. Dia secara eksplisit menyebut bahwa semua teroris di Republik Indonesia adalah Wahabi. (Harian Duta, Jum’at 2/9/2016)

Apa yang dilakukan Said Aqil ini bukan pertama kali. Di berbagai kesempatan, dia bukan hanya menyebarkan berbagai informasi yang mengarah kepada darurat wahabi, tetapi juga menciptakan situasi bahwa Wahabi benar-benar akan meruntuhkan bangsa ini. Munculnya berbagai kajian yang ditolak masyarakat, karena dianggap meresahkan, diyakini sebagai fenomena bahaya Wahabi. Apa yang terjadi di Banjarmasin, Pamekasan dan berbagai wilayah, ketika sekelompok masyarakat menolak kajian dijadikan pembenar bahwa Wahabi sebagai ancaman serius.

Kekhawatiran terhadap bahaya wahabi tidak berhenti disitu. Rencana pendirian cabang (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) di tiga tempat (Surabaya, Makassar, dan Medan) juga tidak lepas dari kecurigaan adanya bahaya merebaknya Wahabi. Padahal pendirian cabang LIPIA itu melibatkan tujuh lembaga kenegaraan di Indonesia (Kementerian Agama, lembaga kepresidenan, departemen luar negeri, setneg, Depdagri, Lembaga Pertanahan Nasional, dan Badan Inteligen Negara). Terwujudnya rencana pendirian cabang LIPIA merupakan hasil dari kerjasama antara pemerintah Indonesia dan Arab Saudi setelah melewati berbagai kajian yang selektif.

Namun yang agak unik dan ganjil, perkembangan Syiah yang begitu gencar dan sistematis, justru tidak menggerakkan hati Said Aqil untuk mengkategorikannya sebagai ancaman negara. Padahal kontribusi buruk Syiah sangat jelas, bukan hanya bagi masyarakat Sunni, tetapi bagi pemerintahan yang sah dan berdaulat. Bahaya dan ancaman bisa dilihat dari kontribusi negatifnya di negara-negara kawasan Teluk. Kalau mengkategorikan sebagai ancaman, selayaknya Syiah tergolong sebagai ancaman terbesar bagi keutuhan NKRI. Bahaya Syiah yang jelas di depan kasat mata justru tertutupi oleh halusinasi ancaman wahabi.

Tidak bisa dipungkiri bahwa dakwah tauhid telah menyebar dan meluas hingga pelosok desa dan pinggiran pegunungan. Daya sedot dakwah tauhid yang demikian hebat inilah yang membuat Said Aqil hilang akal sehatnya, sehingga harus mengubur kredibilitasnya sebagai seorang yang terdidik karena keliru menganalisis. Seharusnya Syiah sebagai ancaman, tetapi Wahabi yang dijadikan sasaran kambing hitam.

Keresahan dan kekalutan berpikir ini telah mempengaruhi masyarakat akar rumput (grassroots) sehingga secara bersama-sama menyesatkan dakwah tauhid dan mengaitkannya sebagai ancaman negara. Kalau memang dakwah tauhid ini meresahkan dan membahayakan keutuhan negara, maka pemerintah lah pihak pertama yang seharusnya bergerak dan menghentikan dakwah. Yang terjadi, justru instansi pemerintah banyak menerima dakwah tauhid ini. tidak sedikit institusi pemerintah dan birokrasi, termasuk pihak keamanan (TNI dan Polri) telah mengundang para juru dakwah di institusi mereka, baik secara rutin atau berkala.

Pemerintah sendiri tidak menganggap gerakan dakwah ini sebagai ajaran sesat atau sebagai ancaman negara. Buktinya, inisiatif penghentian dakwah bukan dari pemerintah, tetapi justru diinisiasi oleh Said Aqil dan mereka yang merasa terancam dengan keberadaan dakwah tauhid ini. Dengan kata lain, pemerintah tidak memiliki alasan untuk menghentikan kajian karena memang tidak ada indikator yang membahayakan negara.

Said Aqil dan Figur Non Muslim

Sementara langkah Said Aqil, yang mengajak keliling figur non-muslim keluar masuk pondok pesantren, tidak pernah dianggap sebagai ancaman. Bahkan langkah Said Aqil yang memproklamirkan bolehnya memilih pemimpin non-muslim, tidak mendapat perlawanan yang berarti dari masyarakat pendukungnya. Padahal membolehkan pemimpin non-muslim bukan hanya membahayakan akidah umat Islam, tetapi juga membahayakan bagi keutuhan negara.

Dengan memberi peluang kepada orang non-muslim, juga non-pribumi, untuk menduduki jabatan presiden, sama saja memberikan kunci untuk menguasai seluruh aset milik negara yang dahulu diperoleh dengan tenaga dan darah umat Islam.

Halusinasi ancaman Wahabi benar-benar menutup cahaya dengan kegelapan, yang pada gilirannya membuat masyarakat menjadi paranoid dalam memandang dakwah yang semakin menunjukkan sinarnya. Memang terbukti bahwa kebenaran adalah cahaya, yang tidak mungkin dihilangkan dengan kegelapan. Sebagaimana firman-Nya :

“Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya.” Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang musyrik membenci." (QS. Ash-Shaf : 8-9)

Surabaya, 4 September 2016

*Penulis adalah dosen di STAI Ali bin Abi Thalib dan Direktur Pusat Kajian Islam dan Peradaban (PUSKIP) Surabaya

Sumber: fokusislam.com/Ahad, 4 Sep 2016