Ahok dan Bohir-Bohir Politik


Oleh Abdullah Sammy*

Sejak setahun lalu, saya selalu dibuat bertanya-tanya dengan keberadaan posko relawan Ahok yang bertebaran di beberapa pusat perbelanjaan ibu kota. Lokasi yang strategis dan terletak di mal papan atas membuat kita bisa menerka-nerka.

Siapa yang rela membuang uang yang tak sedikit untuk membuka posko selama setahun penuh di pusat perbelanjaan supermewah?

Pada relawan itu menjawab kalau posko adalah bentuk usaha sukarela. Mereka mengakui pihak mal pun memberi diskon besar bagi para relawan politik ini. Para relawan juga tetap membayar uang sewa ke pihak mal dengan biaya hanya sekitar Rp 2,5 juta hingga Rp 5 juta sebulan.

Dalam laporan kuangan Teman Ahok pun disampaikan, biaya sewa booth relawan mencapai Rp 128.309.900 per 14 Agustus 2015. Sebuah nilai yang tentu jauh dari nominal wajar untuk masyarakat biasa yang ingin buka usaha di mal.

Saya rasa baru kali ini pusat perbelanjaan mau memberi kesempatan bagi calon independen untuk mengumpulkan kekuatannya. Memang di mal juga ada beberapa booth sosial lain, misalnya untuk sumbangan dan LSM. Namun jangka waktu dan ruang yang diberikan tak seistimewa relawan Ahok yang telah beroperasi nyaris setahun penuh.

Apapun itu, diskon soal pendirian bopth dari pihak mal punya nilai ekonomis tersendiri bagi Ahok yang notabene adalah pejabat aktif di wilayah tempat mal itu berdiri. Sebuah 'makan siang' supermurah untuk gerakan politik Ahok ini pada akhirnya jadi sebuah tanda tanya yang tetap harus diawasi. Harus dijaga agar tak terjadi timbal balik balas jasa antara si pemilik mal dengan si pejabat yang memegang wewenang besar.

Memang harus diakui, cara kerja relawan Ahok ini memang cukup cerdik. Mereka bekerja jauh sebelum masa kampanye dimulai.

Tak pelak, mekanisme pengawasan, dalam hal ini kewajiban pelaporan dana tak bia disentuh otoritas seperti Bawaslu atau KPU. Dalam situasi seperti ini, siapapun yang bersimpati bisa saja membuang uangnya ke posko relawan Ahok. Siapapun bisa memberi diskon besar bagi pendirian booth relawan dengan alasan yang mereka rangkai di media.

Tak terkecuali pengusaha kakap di Jakarta yang bisa saja membuang duitnya. Tapi, saya tak mau buru-buru menuding siapa-siapa geng pengusaha yang memutar mesin kampanye Ahok.

Jadi mungkin hanya Ahok dan relawannya yang tahu siapakah yang jadi penyandang dana alias //bohir// mereka. Namun satu hal yang perlu dicermati adalah soal sumbang menyumbang dan posisi Ahok yang masih sebagai pejabat aktif. Ingat, seorang pejabat publik mesti melaporkan pemberian hadiah atau sumbangan ke KPK.

Mungkin ada yang beranggapan, gerakan relawan Ahok adalah murni ekspresi masyarakat. Ada pula yang mengklaim gerakan ini tak terkait langsung dengan sosok eks politikus Perhimpunan Indonesia Baru, Golkar, dan Gerindra itu. Sehingga mekanisme pelaporan jadi satu hal yang tak perlu.

Tapi, fakta bahwa Ahok rutin menggelar pertemuan dan membahas langkah politiknya dengan para relawan, mematahkan segala argumentasi. Perintah Ahok soal gerakan relawan harus satu pintu juga jadi fakta tak terbantahkan.

Nyatanya setiap langkah Ahok dan relawannya selalu berada pada satu garis koordinasi. Ini bukan sebuah gerakan yang alami berjalan begitu saja tanpa rencana.

Gerakan Ahok dan relawan tak ubahnya langkah calon parpol dan partainya yang selalu berada dalam satu komando. Yang beda hanya ada pada kosmetik pembungkusnya. Yang satu berbaju partai, satu lagi berbaju relawan.

Jika partai dituntut transparan dalam melaporkan setiap biaya politiknya, maka hal serupa patut kita tuntut pada calon independen dan relawannya. Apalagi calon independennya adalah pejawat alias pejabat yang masih aktif memegang kekuasaan. Karena menjadi independen bukan berarti terbebas dari semua nilai yang ada.

Sebaliknya, barulah menjadi independen seseorang jika dia berani tampil terbuka apa adanya, tanpa harus ada yang ditutup-tutupi. Pun halnya Ahok dan relawannya yang tak perlu takut untuk terbuka mengenai identitas bohir-bohir penyandang dana mereka. Mereka pun tak perlu segan melaporkan sumbangan yang mereka terima ke KPK.

Jika selama ini Ahok terkesan berani ngamuk-ngamuk kepada rakyat kecil, kini saatnya kita tantang keberanian Ahok yang sesungguhnya di hadapan para pengusaha. Beranikah Ahok sebut satu per satu nama pengusaha yang selama ini membantunya?

Beranikah Ahok merespons pernyataan dari Ketua DPP PDIP Hendrawan Supratikno soal keberadaan lima konglomerat di belakang Ahok?

Kalaupun Ahok tak berani berusuara terkait hal ini, agaknya peran otoritas pengawas seperti KPK dan PPATK sangat penting untuk segera bergerak. Ini utamanya agar menciptakan iklim politik bersih di negeri ini. Sebab, bersih atau tidaknya dunia politik di negeri ini bukan berdasarkan kosmetik pencitraan bahwa dia calon independen atau dia calon partai.

Bersih tidaknya politik di Indonesia tercipta jika akses atau sumber uang bisa diawasi. Sebab pangkal persoalan yang selama ini melanda partai politik adalah ketertutupan mereka dalam melaporkan sumber dana, alias bohir mereka.

Yang tersaji dalam laporan keuangan relawan Ahok selama ini tak ubahnya laporan keuangan normatif salah satu partai politik di Pemilu 2014. Nyatanya, tak ada identitas nama mengenai si penyumbang dalam nominal besar.

Kita tentu berharap calon independen tak melakukan kesalahan serupa dengan parpol. Sebab independen pada akhirnya hanya tipu daya belaka jika pada akhirnya ada 'kekuatan besar status quo' di belakang mereka

Jika Ahok punya nyali untuk buka-bukaan, kita tinggal mengkaji secara lebih jeli. Apakah ada para penyumbang dana Ahok yang selama ini mendapat akses kemudahan atau punya kepentingan proyek bisnis besar di DKI? Semua pada akhirnya mesti kita telaah secara fair.

Kini saatnya menantang Ahok untuk terbuka. Pada akhirnya keberanian Ahok bersuara untuk menjawab pernyataan Hendrawan Supratikno perihal konglomerat di belakangnya akan mengungkap segala kata tanya. Seperti kata PPATK, "kalau bersih, kenapa harus risih?"

*Sumber: Republika