Oleh: Ahyudin
(President ACT Foundation)
Turki, seolah tak henti-henti memicu rasa takjub.
Pertama, pada sosok Al-Fatih.
Perjuangannya yang spektakuler, disebut dalam nubuwah, penakluk Konstantinopel kelak adalah sebagai ‘sebaik-baik pasukan, dan sebaik-baik pemimpin’.
Strategi kekhilafahan Turki era Ottoman, menakjubkan, dengan jejak fisik tata bangunan masjid, komplek sekolah, pasar, klinik, istana Topkapi nan megah di pinggir Bosporus, hadir sebagai kecemerlangan baru pasca runtuhnya Konstantinopel. Sejatinya, jejak terkuatnya bukan sebatas urusan fisik, tapi pada pembangunan moral. Akhlak Al-Fatih sebagai pemimpin, panglima dan hamba Allah yang saleh, tak bisa diingkari, tertuang dalam tinta emas sejarah. Ekspansinya yang menjunjung moral sebagai ekspresi politik Islam, demikian mengglobal. Inilah sosok yang keharumannya melintas masa, setelah masa kepemimpinan Muhammad SAW. Sejarah Turki, sarat energi.
Ketakjuban kedua, terhadap Presiden Turki.
Dari jejak peradabannya, tak mengejutkan jika muncul pemimpin sekelas Recep Tayyip Erdoğan. Gaya berpolitik mantan Walikota Istanbul ini membuatnya sanggup merangkul semua kalangan. Disadari atau tidak, kebijakannya berhasil membuat sekulerisme Turki yang sempat seolah tak tergoyahkan, terkikis setidaknya tersisa sekitar 30 persennya tanpa secara ekstrem menghilangkan simbol-simbol Kemalisme.
Erdoğan, mantan pegawai angkutan kota di Istanbul, yang masa remajanya pernah menjadi pemain bola semipro ini pula yang lantang bersuara soal Suriah, "Rasa sakit itu tidak mengenal agama, ras, warna kulit, asal negara. Karena itulah, Turki menyebar bantuan ke tidak kurang dari 144 negara. Jika dunia gagal menyelamatkan Suriah, maka Turki sendiri yang akan masuk menyelamatkannya," tegasnya.
Ketegasan itu menjadikannya media darling, sesuatu yang pasti bukan tujuan utama sang ‘penyair sosial’, yang gara-gara puisi politiknya ia pernah dibui empat bulan lamanya.
Mengagumkan, catatan kehidupan dan pandangan Erdoğan, sosok bernas yang lahir dari kalangan biasa ini.
Lalu, ketiga, kita angkat topi untuk IHH (Insan Hak ve Hurriyetleri ve Insani Yardim Vakfi/ Yayasan untuk Hak Azasi Manusia, Kebebasan dan Bantuan Kemanusiaan), lembaga nonpemerintah (NGO) terbesar di Turki.
Kemampuan IHH mengelola isu Suriah, sangat baik. IHH membangun puluhan kamp di perbatasan Suriah-Turki, membantu pembangunan belasan pabrik roti di wilayah Suriah, merawat ribuan pengungsi di Turki dalam kamp maupun rumah-rumah penampungan. Tak hanya itu, lembaga yang nyaris menyamai pemerintahnya dalam hal jangkauan layanan ini, menangani tak kurang dari setengah juta jiwa pengungsi di wilayah Suriah. Turki sendiri di bawah Erdoğan, menangani 2,8 juta pengungsi Suriah di Turki. Seluruh kebutuhan pengungsi dicukupi. IHH memiliki gudang logistik yang megah seluas hampir 100 ha. IHH juga membangun 13 pabrik roti di dalam Suriah dan tujuh pabrik di wilayah Turki untuk kebutuhan pengungsi.
Soal urusan kebajikan untuk kemanusiaan umat di dunia, bandingkanlah seperti apa kira-kira posisi bangsa kita dengan bangsa Turki dihadapan Allah?
Turki bukan cuma berjasa menaklukkan Konstatinopel yang melegenda tetapi juga memimpin urusan kemanusiaan sejagat. Tak sekadar karya karitatif, dalam isu Suriah ini. Lebih dari 5.000 pengungsi Suriah bekerja dengan gaji profesional di seluruh gerai program IHH termasuk di pabrik roti.
Mari bayangkan bagaimana produktivitas pabrik roti ini. Setiap pabrik roti IHH memproduksi 20.000 bungkus roti per hari; perbungkusnya berisi delapan buah roti besar cukup untuk dua orang dewasa. Jika IHH mengelola langsung 20 pabrik roti maka perhari menghasilkan 400 ribu bungkus roti dikalikan 8 buah roti per bungkus sama dengan 3,2 juta bungkus roti perhari. Itu baru pabrik roti. IHH juga mengelola puluhan kamp pengungsi Suriah lengkap dengan shelternya, selain membangun perkampungan yatim terbesar di dunia dengan fasilitas lengkap seperti rumah, sekolah, fasilitas olahraga, juga taman rekreasi. IHH, wajah ideal lembaga kemanusiaan kelas dunia dengan kemampuan menggerakkan filantropi multisegmen, menyasar seluruh stakeholders dunia. Semua yang diperlihatkan IHH, selaras dengan visi ACT. Tidak keliru kalau jika ACT merapat ke IHH dan menyerap inspirasi darinya.
Turki hebat dengan tiga kekuatan: kesejarahan (Al-Fatih), kepemimpinan (Erdogan), dan masyarakat sipil (IHH). Indonesia belajar banyak dari Turki. Dalam konteks krisis kemanusiaan Suriah, berkat karya besar bangsa ini, jutaan rakyat Suriah berterima kasih dan berdoa untuk keagungan bangsa Turki. Melihat fenomena ini, cita-cita Erdoğan menyatukan umat insya Allah tercapai melalui misi kemanusiaan.
Sejenak haru melintas, mendengar ungkapan tulus Yusuf Tunc, Penanggungjawab Funding untuk Program Suriah, di pusat logistik IHH di Reyhanli, tentang kehadiran ACT untuk Suriah. Kata Yusuf, IHH tak melihat bantuan dari sedikit banyaknya. "Kita tidak usah berbicara besar kecilnya apa yang kita berikan. InsyaAllah semuanya besar di hadapan Allah. Semua kita bertanggungjawab terhadap isu ini, semua terikat dengan apa yang menimpa sauudara-saudara kita se-islam. Bahkan jika Anda datang tanpa membawa apa-apa pun," ujarnya dengan senyum.
Yusuf melanjutkan, "Anda datang hanya untuk mendengar kisah dan kesah saudara-saudara kita, itu sudah lebih dari cukup. Itu sudah membahagiakan mereka, itu akan menjadi penyemangat bagi saudara-saudara kita bangsa Suriah."
Cara berpikir seperti ini, merata di antara staf IHH baik di kantor pusat maupun di lapangan, mencerminkan kebesaran sebuah bangsa. Tak salah, kalau kita iri pada keluhuran budi bangsa yang baik, seperti bangsa Turki ini.[]
Sumber: http://ift.tt/1qT2AsE