Pemuda Partai dan Panggung Millenial


Oleh: B. Prayitno
Wasekjen DPP GEMA Keadilan 2016-2021. Opini atas nama pribadi

Kita sedang menyaksikan panggung besar. Terhampar luas sejauh mata memandang. Tak pernah berhenti diisi pertunjukan dalam dua puluh empat jam kehidupan kita. Oleh anak-anak muda sebaya yang rerata berusia belasan hingga dua puluhan tahun. Lebih dari sepertiga populasi Indonesia. Menyesaki dan memeriahkan lanskap politik dan sosial dengan karakter-karakter uniknya.

Penuh antusias, sangat independen dan selalu punya segudang pertanyaan tentang peristiwa yang terjadi. Juga sangat terbuka pada lingkungan. Mengatakan suka atau tak suka dengan begitu lugas. Menjadikan gadget atau smartphone sebagai teman mereka dalam beragam aktivitas; mulai dari kamar mandi, sekolah atau kuliah, berkumpul bersama teman atau di meja makan, hingga menjelang tidur. Telpon pintar itu tak pernah jauh dari badannya. Menjadi karib tempat bertanya segala sesuatu atau mengungkapkan segala sesuatu

Ini panggung millenial. Indonesia kita sedang menjadi hamparannya. Sejarah sedang dibuat. Oleh anak-anak muda itu. Anak-anak millenial. Mereka cenderung kritis pada situasi sosial dan tak sedikit dari mereka yang tak percaya kepada institusi politik. Protes, nyinyir atau sarkasme menjadi pemandangan sehari-hari. Hampir di seluruh aktivitas yang kita ikuti, ada saja satu-dua atau segerombolan anak-anak muda itu yang hadir. Ya, mereka hadir. Ada dan banyak.

Sebelum panggung menjadi seterbuka seperti sekarang ini, Ian Shapira, seorang wartawan Washington Pos pada pertengahan 2008 pernah mengulas dan membayangkan masa kini dalam sebuah artikel "What Comes Next After Generation X?". Ian menyebut anak-anak muda ini dengan sebutan "Generasi Selanjutnya". Dan pada tahun yang sama, Stephanie Armour, seorang penulis Amerika mengistilahkan anak-anak muda ini dengan sebutan "Echo Boomers".

Ada karakter sematan yang mengiringi; "They're young, smart, brash. They may wear flip-flops to the office or listen to iPods at their desk". Iya, ini anak-anak muda yang pintar, terkesan cuek nan santai serta mungkin dianggap kurang ajar oleh sebagian kita. Inilah generasi millenial itu. Meminjam kata-kata William Strauss dan Neil Howe dalam "Generations: The History of America's Future, 1584 to 2069" lalu dilanjutkan penjelasannya dalam buku "Millennials Rising". Karena bonus demografi, kini mereka menjadi salah satu aktor penentu bagi masa depan. Indonesia dan dunia.

Sementara itu, kita sedang berbicara tentang partai politik. Tempat kita berdiri dan beraktivitas sekarang ini. Medium untuk menyalurkan gagasan, cita-cita dan sumbangsih kita pada Indonesia dan dunia. Termasuk juga pada pewarisan nilai. Partai ini, lokomotif yang bergerak dengan lentera yang menyala di jendela seluruh penumpangnya. Lalu kita memikirkan anak-anak muda itu. Yang sedang berdiri di panggung dan lorong-lorong memandangi kita. Menunggu-nunggu. Tentang banyak pertanyaan.

Maka, ingatilah beberapa nasihat Rasulullah, sahabat dan salafushalih. Tentang apa yang harus kita lakukan. Perihal kita, anak-anak muda dan panggung millenial itu.

"Jadikanlah mereka sahabatmu" kata Sayyidina Ali. Datangilah panggung mereka. Ajaklah bertutur tentang hati. Rengkuhlah mereka. Berikanlah senyum yang paling indah dan hati seluas samudera. Berbaurlah bersama sang belia. Pada saat mereka sedang syahdu di acara "Malam Puisi" yang mereka buat. Atau saat mereka sedang hanyut dalam denting gitar "Musikalisasi Puisi". Atau saat mereka sedang terbahak menyaksikan "Stand Up Comedy". Atau ketika mereka kuyup dalam irama kaki Futsal. Berilah tepuk tangan yang paling meriah. Dan katakan; mereka akan menjadi sahabat yang membanggakan kita selamanya.

"Janganlah kamu mempersekutukan Allah" kata Lukman Al-Hakim. Kata-katanya diabadikan dalam Al-Qur'an. QS. Lukman: 13. Penanda bahwa ia nilai yang asasi. Intisari dari perjalanan. Maka, setelah mereka menjadi sahabat, nilai ketauhidan itu harus mengisi ruang-ruang pikir generasi millenial pertamakali. Ajaklah mereka melihat gunung dan lembah. Berdiam dalam hening alam. Atau berbaring dan melihat gemintang. Atau ke observatorium melihat jagat raya. Niscaya akan hadir kekaguman pada Pencipta dan Penciptaan. Tentu saja akan ada banyak tanya dan lontaran kritis. Tapi, cinta, perhatian dan kesabaran saat membersamai akan meluluhkan.

"Ajarkanlah mereka mencintai nabi dan ahlul bait" sabda Rasulullah. Maka sirah nabawiyah dan sahabat harus menjadi cerita sela kebersamaan. Ada banyak hikmah keberanian, kejujuran, pengorbanan dari orang-orang muda. Jauh sebelum anak-anak millenial ini menemukan panggungnya. Tapi sifat-sifat mulia itu abadi dan menyejarah. Karena lahir dari generasi terbaik. Generasi yang menjelaskan seperti apa indahnya peradaban.

"Sebagaimana teman yang baik itu selalu melahirkan kebaikan, begitu juga teman yang buruk selalu melahirkan keburukan" kata Abu Hatim Ar-Razi. Kumpulkanlah mereka yang hatinya cenderung pada kebaikan untuk saling bersua. Bercerita tentang masing-masing diri dan saling mengenal diantara semuanya. Bariskanlah jiwa-jiwa itu dalam shaf yang indah. Persaudarakan dalam sebuah majelis beralaskan ukhuwah. Kelak, dalam perjalanan yang panjang ini, pertemuan dan cerita ini akan menjadi kenangan yang indah.

"Ajarkanlah sastra. Karena sastra merubah sang pengecut menjadi pemberani" kata Sayyidina Umar Ibnu Khattab. Maka, ajaklah mereka untuk ikut dalam lomba-lomba menulis cerita. Ajaklah mereka untuk membacakan puisi dan sajaknya. Ajaklah mereka untuk bercerita tentang keindahan kampung, surau, dan keberanian para pahlawan. Ajaklah mereka untuk membaca Al-Qur'an yang keindahan bacaannya melampaui imaji sastra paling tinggi. Ajaklah mereka untuk berani menulis tentang mimpi-mimpi indah harapan dan cinta. Tentang tanah air bernama Indonesia. Tentang bumi dan kedamaian.

“Ajarilah berkuda, berenang dan memanah” sabda Rasulullah. Sebab, yang muda memang harus terjaga raganya. Agar kuat beriring dalam kafilah perjalanan. Ada keahlian dalam hidup yang harus dikuasai. Ada kemampuan untuk bertahan hidup yang harus dijiwai. Ada kemampuan untuk merencanakan perjalanan hidup yang harus dimengerti. Permainan dan semua makna yang terkandung di dalamnya adalah bagian penting yang harus menjadi bekal bagi generasi millenial yang sedang berada di pentas panggung.

"Ketika makan dan minum memenuhimu, iblis duduk di singgasana tempat jiwa semestinya duduk" kata Jalaluddin Rumi. Maka, jauhkanlah dari mereka godaan dunia. Ajaklah mereka menahan diri. Peluk pundaknya dan tolehkan wajah mereka untuk membuka mata melihat dunia yang tercabik dan terluka. Tumbuhkanlah cinta dan kepedulian dalam jiwa. Cerabutlah nafsu yang mengurung dalam jiwa-jiwa millenial. Ajaklah mereka berdiri memandang masa depan. Dunia yang indah yang harus segera mereka wujudkan. Bisikkanlah pada mereka bahwa merekalah yang akan menjadi pemimpin perbaikan negeri.

Kipaskan sayap mu di seluruh ufuk
Sinarilah zaman dengan nur imanmu
Kirimkan cahaya dengan kuat yakinmu
Patrikan segala dengan nama Muhammad 
(Puisi "Harapan Kepada Pemuda", Muhammad Iqbal)

Mari, beriringlah bersama kami, anak-anak muda generasi millenial. Kami yang mencintaimu dan berkhidmat kepadamu. Kami akan setia menjaga, agar pertunjukanmu di hamparan panggung Indonesia begitu indah disaksikan.

Wallahu Muwafiq Ilaa Aqwamith Thariiq.