Zaman presiden Soeharto China taipan tidak bisa berkutik kalau tidak kena tampar oleh sang jenderal bila bersifat arogan.
Berbanding terbalik dengan sekarang di zaman Presiden Jokowi, china taipan mau buat apa saja, mau berkata kasarpun tak satu pun jenderal yang menampar, mengapa begitu?
Zaman Soeharto, ada dua di antaranya yang pernah menegur dan memarahi pengusaha raja konglomerat Liem Sioe Liong, yaitu Letnan Jenderal HR Dharsono dan kemudian Jenderal Muhammad Jusuf.
Jenderal HR Dharsono saat menjadi Dubes RI di Bangkok, memarahi Liem karena perilaku seenaknya ketika ia bertamu ke kedutaan untuk menemuinya. HR Dharsono tidak peduli Liem itu ‘sahabat’ Soeharto atau siapa. Jangankan Liem, Jenderal Alamsyah yang saat itu menjadi salah satu menteri di kabinet Soeharto pun pernah ditegur HR Dharsono, akibat perilaku anak-isteri sang menteri yang membuat masalah di Bangkok.
Tetapi yang lebih seru adalah cerita mengenai teguran Menhankam/Pangab Jenderal Muhammad Jusuf kepada Liem yang datang ke kediaman Presiden Soeharto dengan pakaian seenaknya.
Sekelumit cerita yang didapat sekedar untuk mengingatkan bahwa walau dekat dengan penguasa, jangan se enak “udel” nya sendiri....
Pagi itu jam 8.00 sebuah mobil masuk ke komplek kawasan Cendana kediamannya Presiden RI Soeharto. Ternyata tamu yang turun dari sebuah jeep mercy tersebut bukanlah menteri atau pejabat penting negara tapi justru seorang pengusaha “teman ngopi “ Pak Harto. Taipan yang dikenal sebagai konglomerat, taipan dan pemilik bank BCA dan sejumlah bisnis raksasa itu bernama Liem Sioe Liong.
Hanya dengan mengenakan "celana pendek santai" boos sejumlah kongomerat Indonesia itu terlihat begitu santai memasuki kediaman presiden. Pengusaha dan konglomerat yang dikenal dekat dengan Pak Harto itu dipersilakan menunggu oleh ajudan Presiden RI.
Dari schedule memang Pak Harto diagendakan akan menerima beberapa orang tamu pagi itu diantaranya adalah Menhankam/Pangab M. Jusuf.
Selang tidak berapa lama Liem Sioe Liong duduk menunggu panggilan masuk, tiba-tiba rombongan mobil membawa Menhankam/Pangab masuk.
Ketika Jend TNI M. Jusuf masuk ke Cendana disinilah ia berpapasan dengan Liem Sioe Liong yang bercelana pendek tersebut. Jend. M Jusuf menyapa dengan gaya bahasa khas Makassarnya "you mau kemana?!" tanyanya ke Liem Sioe Liong dengan tegas.
"Wa mau menghadap bapak presiden," sahutnya, langsung Jend .M Jusuf naik pitam ketika itu, dia panggil orang tersebut kehadapannya.
Jend M Jusuf sendiri saat itu dalam kondisi mengenakan "PDH" pakaian dinas harian jabatan MENHANKAM/PANGAB yang memegang tongkat komando.
Liem Sioe Liong datang kehadapannya dengan mengenakan celana pendeknya tersebut langsung ditampar dan digebuk perutnya oleh M. Jusuf.
"Kurang ajar kamu ya, kamu tau kamu itu mau menghadap siapa dengan mengenakan celana tidak sopan begini" teriak Jenderal M Jusuf.
"Ampun maaf jenderal, ampun wa minta ampun jenderal," sambil memegang wajahnya yang baru ditempiling oleh orang nomor satu militer Indonesia tersebut.
"Lain kali kali kalau pakai celana pendek begini menghadap presiden saya tanam kamu hidup-hidup," hardik M. Jusuf dengan logat khas Makassarnya.
Akhirnya Liem Sioe Liong pergi tidak jadi menghadap Presiden Soeharto karena diusir langsung oleh M. Jusuf dari Cendana.
Pertanyaan selanjutnya, apakah wibawa TNI bisa ditegakkan kembali seperti jaman Menhankam/Pangab M Yusuf dan mampu “menampar” para pihak yang bersikap seenaknya sendiri menghina TNI dan Indonesia dalam beberapa kasus? Atau akan makin sungkan karena beberapa petingginya “mesra” dengan beberapa konglomerat?
Aku jadi inget pesan Pak Dirman (Jenderal Besar Soedirman):
"Ingatlah, bahwa prajurit kita bukan prajurit sewaan, bukan parjurit yang mudah dibelokkan haluannya, kita masuk dalam tentara, karena keinsyafan jiwa dan sedia berkorban bagi bangsa dan negara. Tentara hanya mempunyai kewajiban satu, ialah mempertahankan kedaulatan negara dan menjaga keselamatannya, sudah cukup kalau tentara teguh memegang kewajiban ini, lagi pula sebagai tentara, disiplin harus dipegang teguh. (Jogjakarta, 12 Nopember 1945)
"Tentara tidak boleh menjadi alat suatu golongan atau orang siapapun juga. Tentara bukan merupakan suatu golongan diluar masyarakat, bukan suatu kasta yang berdiri diatas masyarakat, tentara tidak lain dan tidak lebih dari salah satu bagian masyarakat yang mempunyai kewajiban tertentu." (Jogjakarta, 1 januari 1946)
-Balgis Yusup Al-Amri-