Tak Sesuai Rencana, Paket Ekonomi Jokowi Menyedihkan



Meski Presiden Joko Widodo sudah memimpin langsung tim pemantau 12 paket ekonomi yang berisikan deregulasi dan debirokratisasi, hasilnya masih jauh dari capaian yang ditargetkan. Apa yang terjadi?

Menyedihkan, bahwa pertumbuhan ekonomi era Jokowi tahun ini menggelisahkan, sebab menurun. Pertumbuhan kuartal pertama 4.92 persen, dan kuartal kedua diperkirakan bisa merosot lagi dibandingkan dengan tahun lalu.

BPS melaporkan, tingkat laju pertumbuhan ekonomi justru merosot Semester I-2016, sedangkan realisasi investasi ataupun ekspor juga tak meningkat. Pada saat yang sama, bursa efek melaporkan adanya penjualan efek-efek oleh investor asing serta aliran keluar modal jangka pendek ke luar negeri.

Menurut ekonom UI Anwar Nasution, hal itu mencerminkan belum baiknya kebijakan ekonomi dalam semua segi, baik moneter, fiskal, maupun deregulasi perekonomian untuk merangsang efisiensi dan pertumbuhan ekonomi.

Kondisi ini sekaligus menggambarkan kurangnya pemahaman kabinet pemerintahan dalam memahami masalah perekonomian nasional dan memperbaikinya. Mereka tak mampu membaca perubahan lingkungan regional dan internasional serta mengambil manfaat yang sebesar-besarnya dari potensi dunia itu seraya menghindarkan dampak negatifnya. Membuat konsep 12 paket ekonomi , memang lebih mudah ketimbang menjalankannya.

Anwar Nasution menilai, Pemerintahan Jokowi tak punya tokoh seperti Profesor Widjojo Nitisastro dan Ali Wardhana yang punya koneksi internasional sehingga di era mereka mampu meyakinkan pemerintah dan parlemen negara-negara IGGI/CGI untuk memberikan bantuan dan pinjaman lunak selama 32 tahun (1966-1998) terus-menerus kepada Indonesia.

Pemerintahan Jokowi lebih bergantung kepada Tiongkok dan tidak begitu dekat dengan AS/Barat yang selama Orde Baru justru menopang pemerintahan Soeharto. Ketergantungan pada Tiongkok membuat Beijing mudah mengirimkan dan mengerahkan buruh kasar lebih dari 1,2 juta orang bekerja kemari di pabrik dan proyek China di Indonesia. Ini sangat buruk dan menyakitkan Barat maupun Jepang selain menyakitkan bangsa kita sendiri.

Anwar Nasution mengingatkan agar kita belajar dari negara lain, termasuk dari Tiongkok setelah era Deng Xiao Ping, suatu negara dapat menjadi maju dan makmur karena dapat memanfaatkan pasar global. India di bawah PM Manmohan Singh dan Modi sekarang ini, meniru Tiongkok dengan mengundang penanaman modal asing dan merambah pasar perdagangan dan investasi dunia. Investasi asing dan kenaikan kegiatan ekonomi serta ekspor itu yang menciptakan lapangan kerja bagi tenaga kerja yang jumlahnya terlalu banyak tetapi tak punya pendidikan dan keterampilan kerja.

Menurut Anwar, peningkatan pendapatan negara dan pendapatan masyarakat Tiongkok dan India memungkinkan rakyatnya hidup lebih layak, membeli rumah, menyekolahkan anak, dan memelihara kesehatan. Korea Utara mungkin satu-satunya negara komunis yang tetap berdikari dan menutup diri dari pergaulan dunia. Karena itu, negara itu tetap melarat dan kelangsungan hidupnya hanya karena adanya bantuan dan subsidi dari Tiongkok. Ada empat aspek utama restrukturalisasi sistem sosial dan ekonomi, yakni: (i) memperbaiki penegakan sistem dan aturan hukum, (ii) meningkatkan kualitas pengaturan negara dan mencegah terjadinya distorsi perekonomian, (iii) meningkatkan efektivitas penyelenggaraan negara, dan (iv) pemberantasan korupsi.

Sejauh ini, keterlambatan akibat dari berbelit-belitnya birokrasi dan maraknya pungli telah menghambat investasi, meningkatkan ongkos produksi, dan mengurangi daya saing ekonomi nasional di pasar dunia. Kemampuan untuk melakukan persaingan di pasar dunia memerlukan efisiensi logistik yang cepat dengan biaya murah.

Sistem hukum mempunyai dua fungsi: (i) melindungi hak milik individu dan (ii) memaksakan berlakunya kontrak perjanjian.

Di Indonesia era Jokowi, sistem hukum yang tak jalan telah menimbulkan ketidakpastian dan meningkatkan biaya transaksi yang mengurangi efisiensi dan produktivitas. Hanya di pengadilan negeri di Indonesia di muka bumi ini di mana pembeli surat utang atau obligasi kalah berperkara dengan pihak yang mengeluarkan surat utang itu. Karena tak ada perlindungan hukum, masyarakat beralih pada preman dandebt collectors untuk menyelesaikan utang-piutang. Akibatnya, ketidakpastian hukum dan law enforcement tidak efektif, bahkan bakal amburadul.

Demokrasi liberal tanpa rule of law telah membuat KKN merajalela dan pemerintahan Jokowi bergerak lambat, membuat rakyat kecewa. Kita ingin kinerja Kabinet Jokowi berubah dan bergerak cepat mewujudkan negara hukum yang berkeadilan, pemerintahan yang efektif dan birokrasi yang melayani agar segalanya tak terlambat. Kita menanti gebrakan Jokowi lagi dan gagasan sosial dan terobosan ekonomi dari menteri Kabinet Kerja. Itu dulu. Ayo bekerja lebih keras dan cerdas agar kepercayaan publik dan pasar terjaga.