Hikmah Kepemimpinan, Cerita Umar Tilmisani Akan Sosok Imam Syahid Al-Banna


HIKMAH KEPEMIMPINAN

Sekali waktu saya pergi bersama Imam Syahid (Hasan Al-Banna) ke kota Thukh, sebuah kota yang masuk pada wilayah Qalyubiyah. Perhelatan yang ada di kota tersebut benar-benar meriah dan penuh sesak dengan manusia. Suara bising dan bisik-bisik merata dimana-mana. Tapi pertemuan  tersebut berakhir sesuai dengan rencana. Pada malam itu juga kami kembali kekota Kairo. Dalam perjalanan, Imam Syahid bertanya kepadaku, “Bagaimana pendapatmu tentang perhelatan tadi?”

Saya menjawab, “Desak-desakan dan suara bising sungguh mengganggu. Saya seperti mendengar gendang ditalu-talu dekat telingaku. Tapi begitu aku lihat ke bagian tengah dari ruang pertemuan ternyata kosong melompong.”

Beliau berkata, “Dengarlah, kini kita sedang menapaktilasi jejak da’wah Rasululllah saw. Beliau pernah menawarkan dakwah di pasar-pasar. Dari tempat ini Rasul mendapat caci maki dan gangguan. Tidakkah kita bisa bersabar sedikit melihat lambannya jawaban mereka itu. Kalau kita mampu mengambil hati seorang saja dari ribuan manusia yang berkerumun ditempat itu, maka hal ini lebih baik dari dunia beserta seluruh isinya.. Demikianlah harapan itu kemudian muncul didalam hati kita. Demikian pulalah kita merawat kesabaran dalam menghadapi segala kesulitan dijalan dakwah.”

Beliau tidak menyampaikan pengetahuan ini kepada kami di kantornya atau melalui ceramah-ceramahnya dengan menggunakan bahasa yang teoritis dan filosifis. Beliau mengajarkan kepada kami sifat teguh dan pantang menyerah secara nyata dalam berbagai perjalanan, dari satu tempat ketempat lain, dan dari satu kampung ke kampung lain. Kaki kami berenang dalam pasir dan lumpur. Sapu tangan-sapu tangan yang kami bawa hamper robek karena “kelelahan” menyapu keringat kami dan sering kering sendiri karena perjalanan yang begitu jauh. Kami sering tidur beralaskan tikar dengan ikhwah lain di masjid, atau dipenginapan-penginapan murah bila kami berhalangan tidur di dalam masjid ataupun dirumah-rumah yang siap menerima kami. Makanan yang kami santap sangat sedikit dan sangat sederhana. Tapi bai’at yang telah kami ikrarkan mengharuskan kami selalu taat kepada pemimpin selama hal itu bukan dalam kemaksiatan.

Saya ingin memberikan contoh lain, tentang akhlaq luhur dan bagaimana Imam al-Banna mendidik secara nyata dan realistis. Satu hari saya pergi bersama beliau pergi kesebuah rumah. Setelah menyelesaikan agenda acara,  kami naik kelantai dua dari rumah tersebut untuk istirahat. Kami lalu masuk kedalam sebuah kamar yang berisi dua buah tempat tidur berkelambu. Daerah yang kami datangi memang terkenal dengan nyamuknya.. Nyamuk, seperti yang kita ketahui, tidak pernah merasa puas kecuali bila telah selesai menghisap darah manusia. Saya pernah membaca bahwa nyamuk tetap hidup selam ai lapar. Tapi begitu perutnya sudah kenyang iapun mati.

Beliau naik keatas tempat tidur kemudian menurunkan kelambunya. Sayapun melakukan hal yang sama. Kala itu saya benar-benar lelah.Lima menit setelah berbaring saya terkejut ketika beliau tiba-tiba bertanya kepadaku: “Apakah kamu sudah tidur wahai Umar?” Saya menjawab: “Belum.” Tak lama kemudian beliau mengajukan lagi pertanyaan yang sama. Saya merasa agak risih mendengar pertanyaan semacam itu. Saya berkata kepada diri sendiri: “Tidakkah anda melihat betapa lelahnya aku ini? Belum tibakah saatnya anda membolehkan saya istirahat?” Ucapan ini hanya berputar antara aku dengan diriku. Akhirnya aku memutuskan tidak akan menjawab jika beliau bertanya lagi kepadaku. Aku ingin menampakkan diriku seolah –olah telah tidur. Ketika beliau yakin kalau aku telah tidur, beliau turun dari  tempat tidur dengan tenang sekali. Dan ketika sampai didepan pintu beliau mengambil sandal kelom yang sudah tersedia disana dan selanjutnya ditenteng menuju kamar mandi.  Rupanya beliau berwudhu. Selanjutnya beliau mengambil sajadah kecil lalu pergi kesebuah ruangan yang letaknya agak jauh dari kamar yang kami tempati. Diruangan tersebut beliau  melaksanakan shalat beberapa raka’at dan akupun kemudian tertidur.

Ketika bangun, jelaslah kini bagiku hakikat dari perjalanan nyata yang langsung secara diam yang aku alami semalam. Beliau memang seorang Mursyid (pembimbing) yang diberi kekuatan besar oleh Allah dalam ketaatan.  Beliau harus berbicara dan berpidato. Tapi ketika manusia sudah pulang untuk istirahat, beliau mulai menyendiri untuk melakukan tahajjud. Beliau mampu melakukan itu semua karena Allah telah menganugrahinya kekuatan untuk selalu taat sepanjang hari.

Sang murid belum mencoba bersungguh-sungguh setelah pulang kerumahnya. Ia sungguh tidak mampu menyamai kemampuan gurunya. Tapi rupanya sang guru memahami hal itu. Ia saying kepada muridnya dan tidak mau merepotkannya. Tentu saja ini benar sebab jika aku melihatnya melakukan tahajjud maka aku tentu akan melakukannya juga meskipun dengan sedikit memaksa diri. Tapi Allah menghendaki bagi hamba-Nya kemudahan,  bukan kesulitan. Hasan al-Banna menerapkan tarbiysh qur’aniyah terhadap muridnya. Ia ingin agar muridnya itu menikmati istirahatnya dengan tenang dan setelah itu ai sendiri beribadah dan mendekatkan diri kepada Rabbnya.

Inilah pendidikan dan pelajaran yang nyata itu. Pendidikan seperti ini harus dimiliki setiap orang yang memegang urusan rakyat atau jama’ah. Ia lebih mendahulukan ketenangan rakyatnya atau jama’ahnya, dan setelah itu baru ketenangan pribadinya. Ia tidak pantas mengambil posisi di depan, tapi ia harus berdiri pada deretan paling belakang.*

___
*Dari buku Umar Tilmisani, Mursyid 'Am Ketiga Ikhwanul Muslimin, Robbani Press, Hal. 76-78