by Widya Airlangga
February 22 at 10:45pm · Jakarta ·
Tetiba akhir2 ini banyak "pengamat F1" Indo karbitan berseliweran di timeline, seolah2 udah paling pakar bisnis di balik industri jet darat (yes, I’m talking about you, Mister Made something).
Bung, dari jaman Lauda gigit besi (coba nonton film RUSH deh), yang namanya mbayar buat balapan itu praktik yang lazim di F1. Istilahnya: pay-driver. Coba melipir ke wiki dulu sana: “…many successful drivers, such as multiple F1 world champions Niki Lauda, Michael Schumacher and Fernando Alonso, also started their careers as pay drivers but gradually worked their way up the racing ladder.” Jadi, yang ngidolain Lauda, Schumi, Alonso, mereka tuh dulu juga “nyogok” buat bisa balapan.
Masih dari wiki nih: “Many of the so-called pay drivers in F1 today come with good racing records. Sergio Pérez, Pastor Maldonado, Felipe Nasr, Esteban Gutierrez, Rio Haryanto and Jolyon Palmer are all GP2/GP3 race winners.”
“Pakar F1 karbitan” itu juga paling baru denger nama Rio Haryanto 6 bulan terakhir. Dulu2 dari jaman Rio umur 17 tahun udah nge-test-drive Virgin Racing F1 di tahun 2010, ente kemane aje? Tahun 2015 ngikutin kiprahnya Rio gak? Mentang2 GP2 gak ada yg nyiarin di TV Indo, gak berarti kiprahnya gak bisa diikutin kan? Internet jangan dipake cuma buat fesbukan makanya.
Ini gw kasih foto secuil prestasi Rio. Masih gak percaya? Di Youtube banyak loh video aksi overtake-nya Rio. Overtake itu Bahasa Lamongan-nya "nyalip".
Rio itu pembalap Indo paling jago saat ini. Kelasnya jauh di atas anak pemilik sirkuit itu. Ini bukan masalah masih banyak rakyat yang kelaparan (itu mah tugasnya Mentan, Mensos, apalagi ya?). Kalo Menpora bantuin cari dana, ya emang udah tugasnya bukan? Masak Menpora beliin beras buat bantu orang laper?
Lagian, 15 juta euro itu mah receh di industri olahraga sekarang. Cuma dapet pemain bola kelas kacang di Premier League sana. Sayangnya, orang Indo mindsetnya olahraga itu cuma melulu dapet piala, dapet medali. Padahal di balik itu tersimpan potensi bisnis dan ekonomi yg jauh lebih besar: promosi produk, branding, marketing, jualan merchandise. Kalau mau jadi bangsa besar, berpikir seperti bangsa besar, jaya, kaya. Kecuali mau terus jadi bangsa kerdil, ya terserah.
Btw, F1 itu masuk kategori Mega (Sporting) Events loh, sekelas sama FIFA World Cup, NBA, Olimpiade, dan MotoGP. Oiya, Mega Events itu, menurut sosiolog Inggris Maurice Roche dalam bukunya Mega-Events and Modernity (2000) mengatakan: Mega Events are “large-scale cultural (including commercial and sporting) events, which have a dramatic character, mass popular appeal and international significance”.
Edited:
Untuk menghindari salah kaprah tentang penggunaan APBN dalam pembiayaan balapan Rio, sebagai informasi, total biaya yang dibutuhkan utk berlaga dengan Manor adalah 15 juta Euro. Untuk catatan bersama, Pertamina “hanya” membayar 5,2 juta Euro. Sisanya sebesar 9 koma sekian juta Euro inilah yang diharapkan Menpora, dapat ditanggung oleh sponsor2, baik swasta atau BUMN lain (catatan: KADIN dan pengusaha Sandiaga Uno telah memberikan indikasi untuk urunan menyeponsori Rio).
Kalau mau apple-to-apple, Garuda Indonesia (sesama BUMN), bikin kontrak eksklusif dengan Liverpool FC, dengan nilai 9 juta Euro per tahun (sudah sejak 2012, masuk tahun ke-4, atau sudah sekitar 36 juta Euro digelontorkan). Jauh lebih besar dari yang dikeluarkan Pertamina.
Dan duit segitu, sangat kecil jika melihat nilai take-over saham Inter Milan oleh pengusaha Erick Thohir (sekitar 70%, atau 250 juta Euro – duit semua tuh?). Industri olahraga itu mahal loh.
*Sumber: fb