50 Tahun Usia Harian KOMPAS, Ingatlah Selalu Wasiat P.K. Ojong #HBDKompas


Tahun ini begitu spesial bagi keluarga besar harian Kompas. Hari ini, Minggu, 28 Juni 2015, Kompas genap berusia 50 tahun.

Harian Kompas lahir dari sebuah cita-cita, menjadi "Amanat Hati Nurani Rakyat".

Dikutip dari wikipedia, ide awal penerbitan harian ini datang dari Jenderal Ahmad Yani, yang mengutarakan keinginannya kepada Frans Seda untuk menerbitkan surat kabar yang berimbang, kredibel, dan independen. Frans kemudian mengemukakan keinginan itu kepada dua teman baiknya, P.K. Ojong (1920-1980) dan Jakob Oetama yang pada waktu itu sudah mengelola majalah Intisari yang terbit tahun 1963. Ojong langsung menyetujui ide itu dan menjadikan Jakob Oetama sebagai editor in-chief pertamanya.

Awalnya harian ini diterbitkan dengan nama Bentara Rakyat. Salah satu alasannya, kata Frans Seda, nama Bentara sesuai dengan selera orang Flores. Majalah Bentara, katanya, juga sangat populer di sana. Atas usul Presiden Soekarno, namanya diubah menjadi Kompas, pemberi arah dan jalan dalam mengarungi lautan dan hutan rimba.

Setelah mengumpulkan tanda bukti 3000 calon pelanggan sebagai syarat izin penerbitan, akhirnya Kompas terbit pertama kali pada tanggal 28 Juni 1965.

Pada mulanya kantor redaksi Kompas masih menumpang di rumah Jakob Oetama, kemudian berpindah menumpang di kantor redaksi Majalah Intisari.

Pada terbitan perdananya, Kompas hanya terbit dengan empat halaman dengan iklan yang hanya berjumlah enam buah. Selanjutnya, pada masa-masa awal berdirinya (1965) Koran Kompas terbit sebagai surat kabar mingguan dengan 8 halaman, lalu terbit 4 kali seminggu, dan hanya dalam kurun waktu 2 tahun telah berkembang menjadi surat kabar harian nasional dengan oplah mencapai 30.650 eksemplar.

Dan saat ini, Harian Kompas merupakan koran dengan 2 juta pembaca dan oplah sebesar 530.000 eksemplar. Tak heran, Kompas memimpin media cetak di Indonesia.

Wasiat P.K. Ojong

"Secara intituitif setiap orang merasakan bahwa tugas utama pers adalah mengontrol dan kalau perlu mengecam pemerintah. Wartawan jangan sekali-sekali meminta dan menerima fasilitas dari pejabat. Sekali hal itu terjadi, ia tidak bebas lagi menghadapi pejabat itu dalam profesinya. Tugas pers bukanlah untuk menjilat penguasa tapi untuk mengkritik yang sedang berkuasa." (P.K. Ojong, pendiri KOMPAS)

Semoga di usia setengah abad ini, harian KOMPAS selalu menjadi 'kompas' bagi perjalanan bangsa Indonesia untuk mewujudkan cita-cita pendiri bangsa, menuju Indonesia adil dan makmur.

#HBDKompas

[Redaksi PIYUNGAN ONLINE]