Perekonomian Indonesia kini berada pada lampu kuning dan berada diambang resesi. Indikatornya, antara lain nilai tukar rupiah yang terus merosot, daya beli masyarakat yang semakin melemah dan pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan hanya 4,2 persen pada kuartal II tahun 2015 ini.
Hal tersebut dikatakan pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy kepada Kabar Banten, akhir pekan ini.
“Menurut saya, pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah di ambang resesi, karena saat ini sudah lampu kuning. Itu lampu kuning resesi yang menjurus pelambatan total, meski tidak sampai pertumbuhan negatif tahun 1997 dan 1998,” ujar Noorsy.
Noorsy menjelaskan, keadaan tersebut bisa terjadi karena pemerintah tidak cukup optimal dalam menyerap pendapatan pajak, terus merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
“Menurut saya, resesi sudah di depan mata jika penerimaan pajak short fall dan belanja short age. Indikatornya, 1 dolar sama dengan Rp14.250,” kata Noorsy.
Posisi rawan perekonomian Indonesia disebabkan jalur keuangan dan jalur perdagangan bisa bersama-sama atau masing-masing sebagai penyebab krisis. “Krisis yang terjadi tahun 1997 dan 1998 disebabkan faktor keuangan yang bercampur dengan faktor politik. Sejak 2011, penurunan pertumbuhan perekonomian Indonesia disebabkan jalur perdagangan. Sedangkan keadaan yang terjadi saat ini (tahun 2015) bisa dipicu keduanya (keuangan dan perdagangan),” ucapnya.
Dia mengatakan, jika keadaan ekonomi saat ini disebabkan faktor keuangan dan perdagangan, justru lebih berbahaya. Sebab, hal itu akan membuat pukulan ganda yang mengakibatkan defisit perdagangan, defisit modal, defisit neraca pembayaran Indonesia dan defisit anggaran.
Noorsy mengajukan jalan keluar atau solusi mengatasi keadaan perekonomian terkini. Dia meminta agar pemerintah segera merealokasikan anggaran ke sektor-sektor pembiayaan rakyat, pembiayaan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), biaya petani, petambak pedagang kecil. Pemerintah harus menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya.
“Pemerintah jangan mencabut subsidi listrik 450 VA, hentikan kebijakan menaikkan harga energi. Kemudian perintahkan anggaran pemeerintah daerah agar digunakan untuk sektor riil. Dengan cara itu, diharapkan dampak resesi bisa dikurangi,” katanya.
Dia menjelaskan, bagi Indonesia resesi ekonomi sasma dengan penurunan kualitas hidup. Itu berarti sama juga dengan penurunan keceredasan masyarakat, sehingga menyebabkan terjadinya kemiskinan strutural yang masif.
Harus dihentikan
Pemerintah, kata Noorsy, harus segera berhenti mengeluarkan kebijakan yang memiskinkan rakyat, seperti pencabutan subsidi bahan bakar minyak, subsidi listrik. Walaupun pencabutan subsidi itu digantikan dengan subsidi langsung kepada orang (kaum miskin), tetapi hal itu merupakan kesalahan dalam penataan kebijakan ekonomi nasional.
Kesalahan meliberalisasikan perekonomian Indonesia tidak lain karena pemerintah menerima saran-saran dari para ekonom yang menyesatkan, termasuk dari lembaga keuangan dunia, seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF). Di sisi lain, terus melemahnya nilai tukar rupiah membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia dinilai akan terus terseok dan melambat. Meskipun diprediksi tidak akan sedemikian parah, pemerintah diminta agar berhati-hati dalam mengambil kebijakan ekonomi.
“Itu lampu kuning resesi menjurus perlambatan total, walau tidak sampai pertumbuhan negatif seperti tahun 1997-1998,” ujar Noorsy.
Noorsy memperkirakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II hanya sebesar 4,2 persen dan bahkan akan terus melorot.
Peringatan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah terus disuarakan sejumlah pengamat ekonomi. Sebab, sejak susunan kabinet kerja Joko Widodo dan Jusuf Kalla diumumkan pada 26 Oktober 2014 lalu, kondisi ekonomi terus memburuk bahkan yang terparah sejak 2009. Berdasarkan analisis data, saat ini jalan ekonomi Indonesia tertahan "lampu kuning" yang harus segera diantisipasi agar jangan terus jatuh dan menemui "lampu merah".
Badan Pusat Statistik mencatat pertumbuhan ekonomi pada kuartal I 2015 sebesar 4,71 persen. Angka ini turun 0,5 persen dibandingkan pertumbuhan ekonomi pada periode yang sama tahun lalu yang mencapai 5,21 persen. “Jika dibandingkan dengan kuartal IV 2014, angka pertumbuhan ekonomi turun 0,18 persen,” kata Kepala BPS Suryamin awal Mei lalu.
Bank Dunia dan IMF juga telah merevisi pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini. Jika pertumbuhan ekonomi dunia turun, jelas hal itu akan berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia.
(mbs)
Sumber: http://ift.tt/1GHu8lL