KOMODITAS POLITIK


Komoditas Politik

Oleh ERIZAL

Jokowi, mungkin berubah. Dua pimpinan KPK digelandang oleh Polisi, ia acuh saja. Kini revisi UU KPK ditolaknya, seolah-olah menolak pelemahan KPK. Tapi sejak awal, Menkumham dibiarkannya membahas dengan DPR. Diketok palu, tapi surat resmi penolakan tak kunjung tiba.

Dulu mungkin sedang kesal, marah! Calon menterinya stabilo merah-kuning, diumumkan pula ke publik. KPK berada di atas angin. Pembentukan kabinet terpetai-petai dibuatnya. Jokowi tampak gagap. Puncaknya, calon Kapolri yang telah tiba di DPR, mendadak dijadikan tersangka.

Tak disangka, di situlah titik oyong KPK. Dengan rapi, Polisi melakukan serangan cepat. Tak cuma pimpinan, penyidik KPK pun terancam. KPK terlihat panik, lebih panik dari tersangka yang pernah ditetapkan. Aroma perang dibangun seolah pihak sana penjahat yang mesti dilawan.

Tapi, Polisi tak hilang akal. Cara-cara KPK menangani kasus, ditirunya. Ada perempuam, ada penyergapan. Maklum, beberapa penyidikan KPK, balik ke Polri. Publik ternganga, KPK tak berdaya. Ada tersangka yang dipaksakan. Kasus berlama-lama tak diproses. Hakim mulai berani.

Berturut-turut gugatan praperadilan dimenangkan tersangka. Orang mulai ragu, tapi KPK tak melepaskannya, kecuali Budi Gunawan. Kesalahannya terus diburu. Bila kasus hukum sudah dijadikan pertaruhan, siapapun tak akan selamat. Cuma orang kuat saja yang bisa mengamankan!

Sejak awal, DPR memang ingin merevisi UU KPK. Bagi DPR, hendak memperbaiki atau memperkuat. Tapi, bagi KPK, itu memperlemah atau malah, menghabisi. Bagi DPR, kuasa KPK terlalu besar, rentan disalahgunakan. Bagi KPK, itu belum, masih harus ditambah agar sempurna.

Tapi, DPR pula yang membela, terutama yang suka mencari muka. Isu korupsi dijadikan sarana pencitraan meraup keuntungan politik. Saat ini, Jokowi berada di belakang penolakan UU KPK. Itu sudah betul karena jemaah antikorupsi semua di belakang Jokowi menghabisi Prabowo.

Tapi, JK mengambil jalan lain. Ia setuju dengan revisi UU KPK. Surya Paloh setuju, tapi Menkopolhukam Tedjo Edhy tak setuju. Padahal, ia dari NasDem dulunya. Orang juga tidak lupa dengan pernyataan-pernyataannya seputar isu KPK. Orang-orang tak jelas, pegawai kayak buruh.

Saling pindah gerbong politik terjadi. Dan tak sekali duakali, Jokowi dan JK berbeda soal berbagai hal. Jokowi memastikan timnya, meski salah-salah soal yang sepele. JK sepertinya juga ingin membangun tim baru. Mengislahkan Golkar salah satu indikasinya, meski dirasa terlambat.

Entahlah, apakah isu korupsi masih seksi, jadi komoditas politik, menurunkan-menaikkan elektabilitas parpol? Saat Kongres PDIP, anggotanya ditangkap tangan KPK di lokasi. Baru-baru ini di Banyuasin, KPK juga menangkapkan tangan kader PDIP. Surat pemecatan langsung terbit.

Kalau dibiarkan, akan banyak kader partai yang ditangkap, terutama dari partai penguasa. Tinggal menunggu waktu. Partai Demokrat sudah mencoba, meski dari partai lain pun, termasuk yang tak berkuasa, dapat gilirannya. Karena itu, tak aneh Jokowi dan Menkumham berbeda. Tapi Jokowi dan Menkumham partainya sama. Soal Kapolri, Jokowi juga mengambil garisnya sendiri.

Publik sepertinya mulai jengah juga dengan penangkapan-penangkapan korupsi yang tak seberapa itu, tapi kasus-kasus besar tak jelas penyelesaiannya. Apalagi Kepolisian dan Kejaksaan mulai serius mengusut kasus korupsi yang menyeret orang hebat. Ada apa? Komoditas barukah?

Menjelang pemilihan pimpinan KPK baru, isu korupsi kembali hangat. Padahal, ekonomi lagi seret. Itulah dilemanya. Ada pula yang mengatakan ini justru karena korupsi. Asal kena saja. Lemah atau kuat KPK, belum tentu membawa untung. Sepanjang masih bisa disetir, selalu rusak.

Kini, lembaga-lembaga seperti Polri, Kejaksaan, termasuk TNI, mengirimkan nama-nama calonnya untuk mengisi posisi pimpinan. Meski tak dianggap lagi mewakili institusi saat terpilih, tapi belum tentu konflik kepentingan akan punah saat KPK mengusut korupsi di institusi asalnya.[]