Diplomas Militer Saudi-Turki Gentarkan Aliansi Majusi-Komunis

(Foto: Seorang pilot F-16 Turki mengambil selfie dengan latar belakang Royal Saudi Air Force F-15C Eagles)

Diplomasi adalah penting. Tetapi diplomasi yang tidak didukung kekuatan ekonomi yang besar dan kekuatan militer yang mengetarkan tak bisa menghasilkan kesepakatan dan keputusan yang adil.

Dalam menyelesaikan masalah Syria kekuatan ekonomi dan kekuatan militer punya peran signifikan.

Gabungan Turki dan Negara-negara Arab adalah kekuatan ekonomi dan militer yang besar. Persatuan itu akan menjadi kekuatan alternatif ketiga selain Amerika plus NATO dan Rusia di kawasan.

Ketika Arab Saudi memutuskan akan melakukan perang darat untuk menumpas ISIS dan mendongkel Basyar Asad maka Rusia, Iran, dan rejim Syria berhitung ulang.

Saudi Arabia tak main-main. Keberhasilan melakukan latihan operasi militer skala besar dengan sandi "Ra'dusy Syimaal" dengan melibatkan puluhan ribu tentara dan sejumlah besar arsenal darat dan udara di kompleks militer Raja Khalid "memaksa" Iran untuk melunak. Sehingga Iran buru-buru menyatakan siap berunding untuk membahas masa depan Syria. Tetapi Raja Salman menjawab dengan tegas bahwa "mau'idunaa fii suuriyaa" (perhitungan antara kita akan diselesaikan di Syria).

Kondisi tambah tak nyaman bagi negara-negara aliansi majusi dan komunis setelah baru lalu Saudi Arabia mengakui memiliki "qunbulah nawawiyyah" (bom nuklir) yang siap digunakan untuk meluluhlantakkan Teheran, Damascus, dan Baghdad bila kondisi menuntut.

Tak berhenti sampai disitu. Aliansi negara-negara arab bergerak cepat dan menyebarkan pasukan siap tempur dan arsenal siap serang Syria dari Iraq, Jordania, dan Turki.

Sikap Turki yang keras terhadap kaum komunis Kurdi tak ayal membuat Amerika plus Uni Eropa dan Rusia berselisih tajam dalam dewan keamanan PBB.

Dengan sikap tegas Erdogan berkata pada Amerika, "Silahkan Amerika memilih antara Turki atau teroris pemberontakan Kurdi (wahdaat himaayatisy sya'ab). Kalau Amerika pilih Kurdi silahkan umumkan pada dunia."

Tekanan Turki memaksa John Kerry, menteri luar negeri Amerika, mengatakan, "Satuan Pelindung Rakyat Kurdi (YPG/wahdaat himaayatisy sya'ab) hanyalah sebuah organisasi. Kerjasama dengannya tak bisa dipercaya."

Dan dalam sidang darurat dewan keamanan PBB kemarin (19/2) malam akhirnya Amerika dan Prancis menolak proposal Rusia yang ingin mengucilkan, memberikan sangsi, serta meminta tanggung jawab Turki karena telah menyerang Halab dan Idlib. Juga menambah keruwetan dan ketegangan dengan menyebarkan puluhan ribu pasukan berikut arsenal siap gebuk di perbatasan Syria.

Kita akan lihat. Mana solusi yang akhirnya dipilih Turki plus aliansi negara-negara arab dipimpin Arab Saudi; solusi diplomatik yang adil bagi rakyat Syria dengan Asad hengkang dan Rusia-Iran keluar dari Syria atau perang darat dengan potensi kerugian besar utamanya bagi Rusia dalam bidang ekonomi.

Penulis: Hafidin Achmad Luthfie