Oleh: Musyafa Ahmad Rahim
Mantan Ketua Kaderisasi DPP PKS
Alkisah..
Tersebutlah ada satu keluarga yang memelihara seekor kucing. Dididiknya kucing piaraannya itu sehingga dapat mengerjakan sebagian tugas-tugas rumah dengan baik.
Pada suatu kali, keluarga itu mendapatkan tambahan anggota baru dengan lahirnya seorang anak lelaki yang sangat tampan dan menarik perhatian.
Rasa bahagia semakin tampak pada keluarga itu. Termasuk si kucing pun ikut terlihat berbahagia.
Hari demi hari keluarga itu mengekspresikan kebahagiaan mereka kepada sang bayi, dan si kucing pun juga bersikap lembut dan sayang kepada anggota keluarga baru yang masih memerah tersebut dan sama sekali tidak ada tanda-tanda atau gejala-gejala bahwa si kucing hendak menyakiti si bayi.
Pada suatu hari, ibu sang bayi sedang ada suatu hajat, sehingga ia tidak bisa menunggui sang bayi. Sang ayah pun berada di depan rumah, sedang bersih-bersih pekarangan; membabati rumput yang meninggi dan tidak beraturan, mencangkuli tanah yang perlu dicangkul dan sebagainya. Intinya membersihkan dan merapikan halaman depan rumah agar tampak lebih indah dan menawan. Sementara si kucing, tadinya tampak “bermain” dan “bercanda” dengan si bayi yang masih menggeletak di atas tempat tidur yang kaki-kaki ranjangnya sudah dilepas, dengan maksud agar sang bayi tidak menggelundung jatuh.
Saat sang ayah merasa haus, dengan tangan kanan masih memegang celurit tajam, ia bermaksud memasuki rumah hendak minum.
Betapa terkejutnya sang ayah saat melihat si kucing mulutnya berlumuran darah, dan pada bulu tubuhnya pun banyak terdapat darah segar, dan si kucing menampakkan ekspresi kebanggaannya di hadapan sang ayah.
Tanpa pikir dan pertimbangan panjang, sang ayah pun mengayunkan celuritnya kepada si kucing. Clurit itu dengan tepat mengenai tubuh si kucing yang seketika mati berlumuran darah. Belum puas bahwa sekali babat kucing itu mati, clurit pun diayunkan sekali lagi dan sekali lagi, untuk memastikan bahwa si kucing telah benar-benar mati, dan untuk melampiaskan “dendam”-nya.
Betapa tidak, bukankah darah segar pada mulut kucing itu, dan juga lumuran darah pada tubuhnya, juga ekspresi kebanggaannya menunjukkan bahwa baru saja si kucing menyakiti sang bayi?! Atau bahkan telah membunuhnya?! Atau bahkan telah memakannya?!
Sang ayah baru tersentak, tersadar dan terbangun dari “nafsu kesetanannya” saat melihat istrinya menggendong anaknya, dalam keadaan segar bugar, sehat wal afiat, tidak terjadi sesuatu apa pun padanya.
Justru ibu sang bayi itu lah yang menjerit melihat suaminya seperti “kesetanan” mencincang si kucing!! Seraya mengatakan: "Berhenti! Sarungkan clurit itu! Simpan! Kucing tidak salah! Justru kucing inilah pahlawan kita!"
Masih diliputi oleh campur aduk perasaan antara dendam kepada kucing di satu sisi, dan suara-suara pengingatan dan bentakan istrinya di sisi yang lain, sang suami melepaskan cluritnya, sambil masih dengan perasaan bingung tidak karuan, ia bertanya kepada istrinya: “Apa yang terjadi?”
Kata sang istri: “Lihat ke dalam rumah!”
Ternyata, di sana, di dekat tempat tidur sang bayi terdapat bangkai ular yang sudah terkoyak-koyak sedemikian rupa!!
Seketika, sadar lah sang ayah, berarti, kucing piaraannya ternyata adalah "pahlawan" keluarganya. Dialah yang telah berkelahi mati-matian untuk membela bayinya. Berkelahi dengan seekor ular yang bisa jadi akan “memangsa” bayinya.
Kucing itu, dalam perkelahian dan pegumulannya dalam melawan ular, telah menjadikan mulut dan seluruh tubuhnya berlumuran darah...
Maka, dapat dibayangkan, betapa dalam penyesalan sang ayah atas tindakannya yang telah mencincang dan memutilasi kucing pahlawannya sedemikian rupa!!
*dari fb ustadz Musyafa (03/02/2016)
http://ift.tt/1Pz2AI4
---------
Ya Rabb....
Ya Ikhwah,
Jangan Salah Sangka, Kenali Pahlawanmu....