by Leo Kusuma
Kasta tertinggi balap mobil ada di sini, Formula One (F1). Meskipun F1 tidak begitu diminati di Amerika, karena terlalu banyak regulasi.
Riwayatnya F1 itu hanya mencatat nama pembalap Jepang yang paling sering berkiprah. Itu pun biasanya cuma bisa bertahan 1-2 musim saja. Paling lama Samui Kobayashi, dia bertahan sampai lebih dari 3 musim balap. Itu pun sepanjang riwayat balap F1 tidak ada yang menempati sampai 10 besar.
Masuknya Rio Haryanto (pebalap pertama Indonesia yang tampil di F1), menambah kembali daftar negara Asia yang menjadi peserta balap F1. Sebelumnya sudah ada nama Alex Yoong (Minardi F1) yang bertahan 2 musim.
Manor F1 Racing yang menjadi konstruktornya Rio itu merupakan tim medioker. Tim yang tidak pernah menang, tidak pernah 10 besar. Tim medioker sangat diperlukan buat F1, sebagai tim pembuka bagi pembalap rookie (debutan), seperti dulu ada nama Kimi Raikkonen (Sauber F1).
Mengapa orang Asia tidak pernah menjadi jawara di balap F1? Ini balap yang kastanya paling tinggi, tingkat kesulitannya paling tinggi, dan kualifikasi pembalapnya nyaris setara dengan pilot tempur F-16.
Lalu mengapa dengan orang Eropa? Legenda Michael Schummacher (Jerman), dia itu dididik jadi pembalap sejak usianya masih imut-imut. Juara dunia 2015, Lewis Hamilton sudah bersama-sama dibesarkan dan diasuh dari kecil oleh Tim McLaren (Inggris). Dari sejak usia masih imut-imut sudah dipisahkan dari anak-anak lain. Ditumbuh besarkan di dalam sebuah kandang balap! Anda bisa bayangkan, Kimi Raikkonen usia 11 tahun sudah punya skill balap Gokart yang nyaris mendekati skill orang dewasa.
Kondisi lingkungan inilah yang tidak dimiliki oleh pembalap Asia.
(Sebastian Vettel bersama Michael Schummacher. Inside, foto Schummi semasa di balap Gokart)