Oleh Eko Jun*
Selama beberapa tahun terakhir ini, setiap ramadhan kita berkesempatan “ngaji tafsir” dari maestro tafsir tanah air, yaitu Tafsir Al Mishbah oleh Prof Dr Quraisy Syihab. Tayang di salah satu tv swasta, setiap hari, jam 03.00 s/d 04.00 WIB.
Kontroversi
Sosok Quraisy Syihab sendiri sedikit memancing kontroversi saat berupaya mendekatkan sunni dan syiah. Juga pernyataannya tahun kemarin tentang Nabi Muhammad saw yang tidak mendapatkan jaminan surga.
Dialog sunni dan syiah sendiri sudah dilakukan sejak dulu. Seperti halnya yang dilakukan oleh ibnu Ábbas di Harura. Namun konteksnya memang untuk menyadarkan dan mengembalikan golongan syiah ke pangkuan ahlus sunnah. Bukan untuk memahami, apalagi menyamakan sunni dan syiah. Dalam hal ini, beliau memang yang cenderung mencari titik temu antara sunni dengan syiah. Dan mulai mengarah pada kesimpulan.
Hal yang sama dilakukan oleh Prof Dr Ali Ahmad As Sallus. Awalnya beliau juga punya semangat yang sama. Setelah melalui kajian yang mendalam, kesimpulannya : sangat sulit mencari titik temu antara sunni dan syiah. Hal itu dituangkan dalam magnum opusnya : Ensklopedi Sunnah – Syiah. Banyak perbedaan prinsipil, mulai dari urusan aqidah sampai fiqih, sehingga tidak bisa disamakan, apalagi disatukan.
Sedangkan pernyataan Nabi Muhammad saw tidak mendapatkan jaminan surga, memang kontroversial. Saat itu, beliau menjelaskan bahwa manusia masuk surga karena rahmat Allah, bukan amalnya. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Namun menjadi lain urusannya saat presenter menegaskan statemen beliau menjadi salah satu simpul pemikiran. Semestinya, beliau tidak boleh berhenti pada statemen itu karena pendengar tv sangat beragam. Padahal kami yakin beliau juga tahu bagaimana kedudukan dan kemuliaan Nabi Muhammad di akherat. Hm,.. mungkin karena keterbatasan waktu tayang juga.
Tafsir Al Mishbah
Jika diijinkan menilai, sebenarnya Tafsir Al Mishbah sangat layak dikaji oleh kaum muslimin. Kitab ini bukanlah tafsir versi Syiah sebagaimana yang disangkakan oleh beberapa pihak. Setidaknya kita bisa melihat bagaimana posisi pengarang saat membahas isu – isu krusial seperti imamah dan kemuliaan shahabat dll.
Semakin jelas perbedaannya saat kita bandingkan dengan kajian tafsir di Hadi TV (tv syiah di Indonesia). Dimana saat menjelaskan tentang golongan yang selamat dan diridhai Allah, segeralah mereka menjelaskan “yaitu golongannya Ali dan pengikutnya”.
Sebagai kitab tafsir mutakhir, tentu merangkum pula pembahasan dari kitab tafsir sebelumnya. Nah, pengarang memang melakukan penulikan dengan spektrum yang luas, beragam mazhab tafsir. Mulai dari Sayyid Qutbh, As Sya’rawi sampai Al Biqaí. Dan penukilan pendapat Al Biqaí memang agak mendominasi Tafsir Al Mishbah.
Jika boleh menyarankan, kitab Tafsir Al Mishbah sama sekali bukan untuk para pemula. Selain menghadirkan spektrum pemikiran yang luas dan dialektika yang mendalam, kandungan bobot materinya juga cukup berat.
Seperti halnya dalam kuliah, untuk mengambil mata kuliah tertentu ada ilmu prasarat. Maka untuk belajar Tafsir Al Mishbah sebaiknya belajar tafsir Ibnu Katsir terlebih dulu.