Dikira Sudah Maghrib Ternyata Belum, Terlanjur Buka, Bagaimana?

Dikira sudah masuk waktu Maghrib, ternyata jam diberikan kecepetan 15 menit. Terlanjur sudah makan dan minum. Bagaimana?

Para ulama memang agak rinci ketika bicara tentang hal-hal yang membatalkan puasa. Mereka membedakan antara lupa dan keliru. Memang benar kalau seorang lupa sedang puasa, lalu dia makan dan minum, maka puasanya tetap sah dan tidak batal.

Sebaliknya, bila dia keliru dan menyangka sudah Maghrib padahal belum, lalu dia makan atau minum, maka puasanya dianggap batal oleh para ulama.

Kok bisa batal? Apa bedanya dengan yang di atas, bukankah lupa dan keliru sama dan sederajat?

Karena ketika makan dan minum sebelum Maghrib datang, sebenarnya Anda memang berniat membatalkannya, walaupuin hanya di dalam hati dan walaupun ternyata keliru. Tapi niat untuk membatalkannya sudah ada di hati.

Bedakan dengan lupa dan makan. Ketika Anda lupa lalu makan atau minum, pasti saat itu Anda tidak niat membatalkan puasa. Bagaimana berniat, lha wong puasanya saja tidak ingat?

Fatwa batalnya puasa orang yang keliru mengira sudah maghrib lalu makan dan minum, padahal belum masuk waktu berbuka telah menjadi kesepatakan hampir semua ulama. Bahkan empat mazhab ulama yang besar dan muktamad kompak menyatakan batalnya.

1. Mazhab Al-Hanafiyah
Al-Kasani (w. 587 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah di dalam kitabnya Badai' Ash-Shanai' fi Tartibi As-Syarai' menuliskan sebagai berikut :

ولو تسحر على ظن أن الفجر لم يطلع فإذا هو طالع أو أفطر على ظن أن الشمس قد غربت فإذا هي لم تغرب فعليه القضاء ولا كفارة لأنه لم يفطر متعمدا بل خاطئا ألا ترى أنه لا إثم عليه

Ketika seorang makan sahur, dia menyangka bahwa fajar belum terbit, ternyata fajar sudah terbit atau dia menyangka bahwa sudah masuk waktu maghrib, ternyata belum maka dia wajib qadha, tanpa kaffarat.[1]

2. Mazhab Al-Malikiyah

Ibnu Abdil Barr (w. 463 H) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah dalam kitab Al-Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah menuliskan sebagai berikut :

فإن ظن ان الشمس قد غربت بعيم أو بغيره فأفطر ثم ظهرت الشمس فعليه القضاء

Jika seorang menyangka bahwa matahari telah tenggelam sebab ada mendung atau lainnya, ternyata belum maka dia wajib qadha’.[2]

3. Mazhab Asy-Syafi’i

An-Nawawi (w. 676 H) salah satu ulama dalam mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitabnya Raudhatu At-Thalibin wa Umdatu Al-Muftiyyin menuliskan sebagai berikut :

ولو أكل ظانا غروب الشمس، فبانت طالعة، أو ظن أن الفجر لم يطلع، فبان طالعا، أفطر على الصحيح المنصوص، وبه قطع الجمهور.

Jika seorang itu makan dengan menyangka tenggelamnya matahari, ternyata belum atau menyangka bahwa fajar belum terbit, ternyata sudah terbit maka puasanya batal.[3]

Al-Khatib Asy-Syirbini (w. 977 H) salah satu ulama mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitab Mughni Al-Muhtaj menuliskan sebagai berikut :

(ولو أكل باجتهاد أولا) أي أول النهار (أو آخرا) أي آخر النهار (وبان الغلط بطل صومه

Jika seorang makan dengan menyangka bahwa fajar belum terbit, atau matahari sudah tenggelam ternyata sangkaan itu salah, maka puasanya batal.[4]

4. Mazhab Al-Hanabilah

Al-Mardawi (w. 885 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Inshaf fi Ma'rifati Ar-Rajih minal Khilaf menuliskan sebagai berikut :

وإن أكل يظن الغروب، ثم شك ودام شكه: لم يقض وجزم به

Jika seorang itu menyangka bahwa matahari telah tenggelam, dia masih ragu maka dia tidak harus qadha’ puasa.[5]

5. Mazhab Azh-Zhahiriyah

Ibnu Hazm (w. 456 H) salah satu tokoh mazhab Azh-Zhahiriyah di dalam kitab Al-Muhalla bil Atsar menuliskan sebagai berikut :

ومن ظن أنه ليل ففعل شيئا من ذلك فإذا به قد أصبح؛ أو ظن أنه غابت الشمس ففعل شيئا من ذلك فإذا بها لم تغرب -: فإن صوم كل من ذكرنا تام

Orang yang puasa dan menyangka bahwa matahari telah tenggelam padahal belum, atau menyangka bahwa fajar belum terbit padahal sudah maka puasanya sempurna (tidak batal).[6]

Wallahu a'lam bishshawab.

[1] Al-Kasani, Badai’ Ash-Shanai’ fi Tartibi Syara’i, jilid hal.

[2] Ibnu Abdil Barr, Al-Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah, jilid 1 hal. 350

[3] An-Nawawi, Raudhatu At-Thalibin wa Umdatu Al-Muftiyyin, jilid 2 hal. 363

[4] Al-Khatib Asy-Syirbini, Mughni Al-Muhtaj , jilid 2, hal 161.

[5] Al-Mardawi, Al-Inshaf fi Ma’rifati Ar-Rajih min Al-Khilaf, jilid 3 hal. 310

[6] Ibnu Hazm, Al-Muhalla bil Atsar, jilid 4 hal. 356

Sumber: Rumah Fiqih