Ada pepatah Arab kuno, yakni “jangan seperti utusan kaum ‘Ad”. Ini adalah peribahasa yang berarti utusan yang membawa sial bagi kaumnya. Utusan seharusnya membawa kebaikan bagi yang diwakilinya, namun justru ia pulang membawa bencana. Ini dikisahkan dalam sastra Arab tentang kaum ‘Ad.
Syahdan, kaum ‘Ad adalah salah satu dari sekian banyak kabilah Arab kuno. Allah mengutus nabi Hud kepada mereka, namun mereka mendustakan beliau. Sebagai balasannya, Allah menimpakan kekeringan dan kelaparan pada kaum tersebut. Lantas mereka mengutus salah satu pembesar mereka ke tanah suci Makkah untuk berdo’a meminta hujan bagi mereka. Mereka berharap jika berdo’a di tanah suci, maka permintaannya bisa dikabulkan. Orang-orang tersebut sudah tertutup dan terkunci mata hatinya. Mereka mengira bahwa berperilaku kepada Allah seperti berperilaku kepada raja-raja yang dzalim, yakni mengirim utusan salah satu pemimpin atau pemuka mereka meskipun orang itu bertabiat tidak baik, seperti kasar, jiwanya fajir, penuh dengan kesombongan dan lain sebagainya.
Padahal orang yang mengenal Allah tentu saja mengetahui cara untuk meminta bantuan dalam hal terkena musibah seperti itu, yakni dengan mengutamakan seorang pria yang shalih dan ta’at kepada Allah untuk memimpin mereka menjalankan ibadah, meminta bantuan kepada Allah. Sedangkan utusan ‘Ad ini sebaliknya, ia adalah orang yang tidak berperilaku baik. Dalam perjalanannya ke tanah suci untuk meminta pertolongan Allah bagi kaumnya yang terkena musibah, ia melewati rumah Muawiyah bin Bakr. Bukannya segera menyelesaikan tugasnya, ia justru bermukim di rumahnya selama satu bulan, ditambah lagi minum khamr dan menikmati nyanyian dari dua wanita yang sangat tersohor kala itu. Utusan tersebut justru lupa akan tugasnya, ia malah menikmati diri bermaksiat menuruti nafsu pribadi, sementara kaumnya yang memberi amanah kepadanya sedang menderita.
Setelah ia merasa puas, ia pergi ke gunung Tahamah untuk memohon hujan. Ia mengucapkan do’a yang sangat tak lazim bagi seorang yang menghadap kepada Allah. Ia berkata:
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku tidak pergi kepada orang sakit, lalu aku mengobatinya, dan tidak kepada tawanan, lalu aku membebaskannya dengan tebusan. Ya Allah, berikanlah hujan kepada ‘Ad seperti apa yang telah engkau berikan.”
Jika dirasakan dengan baik, itu bukan do’a. Tidak ada kepasrahan dan tawadhu’ kepada Allah Yang Maha Besar. Tidak ada pujian untuk memuliakanNya. Sepertinya pria ini tidak sedang berbicara kepada Tuhan Yang Maha Agung, Maha Perkasa, Maha Kuat dan Maha Kuasa. Apakah begitu adab berdo’a yang baik kepada Allah? Tentu saja tidak. Ia bahkan tidak menyampaikan hajat khusus kepada Allah. Ia hanya meminta diberi hujan seperti biasanya. Dia tidak meminta hujan yang mengandung rahmat dan berkah. Dia meminta yang penting hujan, tidak peduli hujan apa itu, rahmat ataupun adzab.
Beberapa kelompok awan lantas berjalan diatas kepala utusan tersebut. Dari awan ia dipanggil untuk memilih satu diantara berkelompok awan tersebut. Ia justru memilih awan yang paling hitam. Celakalah kaumnya, menunjuk pria yang tak becus berdo’a, sekarang tak becus memilih pula. Yang ia pilih ternyata adalah awan Adzab. Awan hitam itu adalah awan yang mengandung debu dan angin kencang. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran, kaum ‘Ad binasa karena badai pasir yang sangat dahsyat.
Moral cerita diatas adalah jika ingin memilih utusan dan pemimpin, pastikan mereka cukup layak sebagai pemimpin atau utusan, sehingga tidak merugikan kaum yang diwakili dan dipimpinnya.
Syahdan, kaum ‘Ad adalah salah satu dari sekian banyak kabilah Arab kuno. Allah mengutus nabi Hud kepada mereka, namun mereka mendustakan beliau. Sebagai balasannya, Allah menimpakan kekeringan dan kelaparan pada kaum tersebut. Lantas mereka mengutus salah satu pembesar mereka ke tanah suci Makkah untuk berdo’a meminta hujan bagi mereka. Mereka berharap jika berdo’a di tanah suci, maka permintaannya bisa dikabulkan. Orang-orang tersebut sudah tertutup dan terkunci mata hatinya. Mereka mengira bahwa berperilaku kepada Allah seperti berperilaku kepada raja-raja yang dzalim, yakni mengirim utusan salah satu pemimpin atau pemuka mereka meskipun orang itu bertabiat tidak baik, seperti kasar, jiwanya fajir, penuh dengan kesombongan dan lain sebagainya.
Padahal orang yang mengenal Allah tentu saja mengetahui cara untuk meminta bantuan dalam hal terkena musibah seperti itu, yakni dengan mengutamakan seorang pria yang shalih dan ta’at kepada Allah untuk memimpin mereka menjalankan ibadah, meminta bantuan kepada Allah. Sedangkan utusan ‘Ad ini sebaliknya, ia adalah orang yang tidak berperilaku baik. Dalam perjalanannya ke tanah suci untuk meminta pertolongan Allah bagi kaumnya yang terkena musibah, ia melewati rumah Muawiyah bin Bakr. Bukannya segera menyelesaikan tugasnya, ia justru bermukim di rumahnya selama satu bulan, ditambah lagi minum khamr dan menikmati nyanyian dari dua wanita yang sangat tersohor kala itu. Utusan tersebut justru lupa akan tugasnya, ia malah menikmati diri bermaksiat menuruti nafsu pribadi, sementara kaumnya yang memberi amanah kepadanya sedang menderita.
Setelah ia merasa puas, ia pergi ke gunung Tahamah untuk memohon hujan. Ia mengucapkan do’a yang sangat tak lazim bagi seorang yang menghadap kepada Allah. Ia berkata:
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku tidak pergi kepada orang sakit, lalu aku mengobatinya, dan tidak kepada tawanan, lalu aku membebaskannya dengan tebusan. Ya Allah, berikanlah hujan kepada ‘Ad seperti apa yang telah engkau berikan.”
Jika dirasakan dengan baik, itu bukan do’a. Tidak ada kepasrahan dan tawadhu’ kepada Allah Yang Maha Besar. Tidak ada pujian untuk memuliakanNya. Sepertinya pria ini tidak sedang berbicara kepada Tuhan Yang Maha Agung, Maha Perkasa, Maha Kuat dan Maha Kuasa. Apakah begitu adab berdo’a yang baik kepada Allah? Tentu saja tidak. Ia bahkan tidak menyampaikan hajat khusus kepada Allah. Ia hanya meminta diberi hujan seperti biasanya. Dia tidak meminta hujan yang mengandung rahmat dan berkah. Dia meminta yang penting hujan, tidak peduli hujan apa itu, rahmat ataupun adzab.
Beberapa kelompok awan lantas berjalan diatas kepala utusan tersebut. Dari awan ia dipanggil untuk memilih satu diantara berkelompok awan tersebut. Ia justru memilih awan yang paling hitam. Celakalah kaumnya, menunjuk pria yang tak becus berdo’a, sekarang tak becus memilih pula. Yang ia pilih ternyata adalah awan Adzab. Awan hitam itu adalah awan yang mengandung debu dan angin kencang. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran, kaum ‘Ad binasa karena badai pasir yang sangat dahsyat.
Moral cerita diatas adalah jika ingin memilih utusan dan pemimpin, pastikan mereka cukup layak sebagai pemimpin atau utusan, sehingga tidak merugikan kaum yang diwakili dan dipimpinnya.