Al-Hafizh an-Nawawi dalam Riyaadh ash-Shaalihiin:
Hadits ke-11: dari Abu Said al-Khudri r.a., dari Nabi -shallallaahu alayhi wa sallam-, bersabda:
"Jihad yang paling utama adalah perkataan yang haq kepada pemimpin yang zhalim." (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi. Hadits hasan)[1]
Menurut Dr. Mushthafa al-Bugha (dkk.) di antara faidah hadits ini bahwa menasihati penguasa yang zhalim merupakan bagian dari seagung-agungnya jihad.[2]
Hadits ke-12: dari Abu Abdullah Thariq bin Syihab al-Bajali bahwa seorang pria bertanya kepada Nabi -shallallaahu alayhi wa sallam-: "Jihad apa yang paling utama?" Nabi -shallallaahu alayhi wa sallam- menjawab:
"Perkataan yang haq di hadapan penguasa yang zhalim." (HR. an-Nasai)[3]
Menjelaskan hadits ini, Dr. Mushthafa al-Bugha menuturkan: "Sesungguhnya perbuatan menyuruh kepada yang maruf dan melarang dari yang mungkar di hadapan penguasa yang zhalim termasuk seutama-utamanya jihad, karena perbuatan tersebut menunjukkan sempurnanya keyakinan pelakunya, dimana ia menyampaikannya di hadapan penguasa yang zhalim nan otoriter dan ia tak takut terhadap kejahatan dan penindasannya, bahkan ia menjual dirinya untuk Allah (berkorban demi memperjuangkan agama Allah-pen.), mendahulukan perintah dan hak Allah atas dirinya daripada hak dirinya sendiri dan dalam perkara ini terdapat bahaya yang lebih besar ketimbang bahaya peperangan di medan perang."[4]
Dalam riwayat lainnya dari Imam at-Tirmidzi, dari Abu Said al-Khudri:
"Sesungguhnya di antara seagung-agungnya jihad adalah menyampaikan kalimat yang haq di hadapan penguasa yang zhalim." (HR. At-Tirmidzi)
Al-Hafizh Abu al-Ala al-Mubarakfuri (w. 1353 H) menjelaskan: "Pernyataannya dalam satu riwayat yakni sebaik-baiknya jihad yakni kalimat yang benar sebagaimana dalam riwayat lainnya dan maksudnya adalah kalimat yang mengandung faidah menyuruh kepada yang maruf dan melarang dari yang mungkar baik berupa lafazh di lisan atau yang semakna dengannya seperti tulisan dan yang semisalnya yakni penguasa lalim dan zhalim."[5]
___
[1] Hadits di atas diriwayatkan Imam at-Tirmidzi dalam Bab. al-Fitan, No. 2175 dan Abu Dawud.
[2] Nuzhat al-Muttaqiin Syarh Riyaadh ash-Shaalihiin, Dr. Mushthafa al-Bugha dkk, juz. I/ hlm. 216.
[3] Imam an-Nasai meriwayatkannya dalam Bab. Fadhl Man Takallama bil Haq Inda Imaam Jaair; Imam al-Mundziri menyatakan dalam at-Targhiib bahwa sanad hadits ini shahih (Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan at-Tirmidz, al-Hafizh al-Mubarakfuri, juz. VI/ hlm. 396).
[4] Nuzhat al-Muttaqiin Syarh Riyaadh ash-Shaalihiin, Dr. Mushthafa al-Bugha dkk, juz. I/ hlm. 216-217.
[5] Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan at-Tirmidzi, al-Hafizh al-Mubarakfuri, juz. VI/ hlm. 396.