3 Peraih Nobel Serukan Solidaritas Rohingya, Pemerintah Myanmar Ngamuk

Uskup Agung Desmond Tutu dan mantan pengacara Breivik Geir Lippestad berbicara pada konferensi di Oslo Concert Hall. Foto: Berit Roald / NTB Scanpix

Myanmar mengecam pernyataan tiga pemenang Nobel Perdamaian mengenai Muslim Rohingya, dengan mengatakan pernyataan itu kontra-produktif.

"Mereka menutup mata terhadap upaya Myanmar membangun kembali kepercayaan di antara dua komunitas di negara bagian Rakhine," demikian pernyataan resmi Kementerian Luar Negeri Myamar, seperti dilansir sejumlah media di Yangon.

"Myanmar telah memperluas kerjasama dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara, untuk memecahkan masalah manusia perahu," lanjut pernyataan itu.

Dalam Konferensi tentang Penderitaan Muslim Rohingya di Oslo, Norwegia, tiga peraih nobel perdamaian: Uskup Desmond Tutu (peraih nobel 1984), mantan presiden Timor Leste Jose Ramos Horta (1996), aktivis perempuan Iran Shirin Ebadi (2003), mendesak Myanmar berhenti menganiaya Muslim Rohingya.

George Soros, raja bisnis keuangan dan filantropis, menyejajarkan situasi Muslim Rohingya dengan genosida Nazi. Soros lari dari Hungaria ketika Nazi memasuki Eropa Timur.

Konferensi di Oslo menghadirkan para pemenang Nobel Perdamaian, tapi tidak mengundang Aung San Suu Kyi -- aktivis pro-demokrasi Myanmar. Komunitas internasional mulai mengucilkan Suu Kyi, akibat membisu dan menutup mata ketika Muslim Rohingya diperlakukan tidak manusiawi.

Terakhir mantan PM Malaysia Mahathir Mohamad mendesak Suu Kyi menggunakan pengaruhnya untuk menghentikan penyiksaan terhadap Muslim Rohingya.

Myanmar terus memaksa Muslim Rohingya menanggalkan identitas tradisionalnya, dan menerima istilah Bengali. Sebagai Bengali, Muslim Rohingya akan mendapat kartu hijau tapi tetap warga negara kelas dua yang hidup dengan status pengungsi.

Saat ini, Muslim Rohingya memegang kartu putih -- simbol warga tidak punya hak apa pun di Myanmar. Sedangkan warga negara bagian Rakhine memegang kartu merah. (inilah)