DESA YANG HILANG
KISAH NYATA SODOM-GOMORAH DI BANJARNEGARA.
(Dukuh Legetang, desa Pekasiran, kecamatan Batur, Banjarnegara, Jawa Tengah)
Ada sekelumit kisah nyata, sayangnya peristiwa yang penuh dengan pelajaran ini sama sekali tidak disinggung-singgung sedikit pun di dalam buku pelajaran di sekolah. Kita dan anak-anak kita tidak pernah tahu jika ada suatu desa yang penduduknya nyaris sama dengan KAUM SODOM-GOMORAH, senang bermaksiat, yang oleh Allah swt dikubur seluruhnya dalam satu malam hingga tidak bersisa. Satu desa bersama seluruh penduduknya lenyap dalam satu malam tertutup puncak sebuah gunung yang berada agak jauh dari lokasi desa itu.
Siapa yang mampu memindahkan puncak gunung itu ke suatu tempat untuk mengubur satu desa kecuali Allah Yang Maha Kuasa? “Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang dilangit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?” (QS Al Mulk 67: 16). Inilah kisah tentang Dukuh Legetang, yang masuk dalam wilayah Banjarnegara, Jawa Tengah. Kejadiannya di tahun 1955.
Dukuh Legetang adalah sebuah dukuh makmur yang lokasinya tidak jauh dari dataran tinggi Dieng-Banjarnegara, sekira 2 kilometer di sebelah utaranya. Penduduknya cukup makmur dan kebanyakan para petani yang cukup sukses. Mereka bertani sayuran, kentang, wortel, kobis, dan sebagainya. Apabila di daerah lain tidak panen tetapi mereka penduduk Legetang panen berlimpah. Kualitas buah dan sayur yang dihasilkan juga lebih baik dari yang lain. Namun bukannya mereka bersyukur, dengan segala kenikmatan ini mereka malah banyak melakukan kemaksiatan. Barangkali ini yang dinamakan “ISTIDRAJ” atau disesatkan Allah dengan cara diberi rezeki yang banyak namun orang tersebut akhirnya makin tenggelam dalam kesesatan.
Masyarakat Dukuh Legetang umumnya ahli maksiat. Perjudian di dukuh ini merajalela, begitu pula minum-minuman keras. Tiap malam mereka mengadakan pentas LENGGER, sebuah kesenian tradisional yang dibawakan oleh para penari perempuan, yang sering berujung kepada perzinaan, baik antara laki-laki dengan perempuan maupun sesama jenis (LGBT). Ada juga anak yang malah melakukan kemaksiatan bersama ibunya sendiri, Bapak dengan Anak Perempuannya dan Beragam kemaksiatan lain sudah sedemikian parah di dukuh ini.
Pada suatu malam, 17 April 1955, turun hujan yang amat lebat di dukuh itu. Tapi masyarakat Dukuh Legetang masih saja tenggelam dalam kemaksiatan. Barulah pada tengah malam hujan reda. Tiba-tiba terdengar suara keras seperti sebuah bom besar dijatuhkan di sana, atau seperti suara benda yang teramat berat jatuh. Suara itu terdengar sampai ke desa-desa tetangganya. Namun malam itu tidak ada satu pun yang berani keluar karena selain suasana teramat gelap, jalanan pun sangat licin.
Pada pagi harinya, masyarakat yang ada di sekitar Dukuh Legetang yang penasaran dengan suara yang amat keras itu barulah keluar rumah dan ingin memeriksa bunyi semalam. Mereka sangat kaget ketika di kejauhan terlihat puncak Gunung Pengamun-amun sudah terbelah, rompal. Dan mereka lebih kaget bukan kepalang ketika melihat Dukuh Legetang sudah tertimbun tanah dari irisan puncak gunung tersebut. Bukan saja tertimbun tapi sudah berubah menjadi sebuah bukit, dengan mengubur seluruh dukuh beserta warganya. Dukuh Legetang yang tadinya berupa lembah, kini sudah menjadi sebuah gundukan tanah baru menyerupai bukit. Seluruh penduduknya mati. Gegerlah kawasan Dieng… kini diabadikan dengan sebuah tugu. Lihat gambar berikut ini :
Ditugu tersebut ditulis dengan plat logam:
“TUGU PERINGATAN ATAS TEWASNJA 332 ORANG PENDUDUK DUKUH LEGETANG SERTA 19 ORANG TAMU DARI LAIN-LAIN DESA SEBAGAI AKIBAT LONGSORNJA GUNUNG PENGAMUN-AMUN PADA TG. 16/17-4-1955″
Salah seorang saksi tragedi Legetang, SUHURI warga Pekasiran RT 03/04 yang kini berusia sekitar 72 tahun mengatakan, musibah terjadi malam hari pukul 23.00 saat musim hujan. ”Saya dan beberapa teman malam itu tidur di masjid. Saya baru dengar kabar gunung Pengamunamun longsor jam tiga pagi,” katanya. Suhuri mengaku lemas seketika begitu mendengar kabar tersebut, karena kakak kandungnya, Ahmad Ahyar, bersama istri dan 6 anaknya tinggal di dusun Legetang. Namun Suhuri maupun keluarganya dan warga lain tak berani langsung ke dusun yang berjarak sekitar 800 meter dari pusat desa Pekasiran, karena beredar kabar tanah dari lereng gunung Pengamunamun masih terus bergerak.
Lenyapnya desa Legetang dan penghuninya juga menyimpan misteri, karena Suhuri dan beberapa warga Desa Pekasiran lain seusianya yang kini masih hidup mengatakan, antara kaki gunung sampai perbatasan kawasan pemukiman di dusun itu sama sekali tidak tertimbun, padahal jaraknya beberapa ratus meter. ”Longsoran tanah itu seperti terbang dari lereng gunung dan jatuh tepat di pemukiman. Sangat aneh”, kata Suhuri
Sungguh kisah tenggelamnya dukuh Legetang ini menjadi peringatan bagi kita semua bahwa azab Allah swt yang seketika itu tak hanya terjadi di masa lampau, di masa para nabi, tetapi azab itu pun bisa menimpa kita di zaman ini. Kini tanah lokasi bencana itu sedikit demi sedikit digarap warga untuk budidaya tembakau dan sayur juga kentang.