Drama Samadikun, Sebuah Panggung Intel Melayu


Drama penangkapan Samadikun Hartono, dipandang sebelah mata oleh berbagai pihak. Komentar pedas bahkan datang dari seorang jurnalis senior, Derek Manangka, yang menulis secara tajam mengenai hal ini.

"Secara profesi saya tidak tahu bagaimana cara kerja intelejens atau agen rahasia. Hanya saja kalaulah film-film James Bond 007 bisa dijadikan rujukan, maka saya berani berpendapat bahwa pakem yang digunakan Sutiyoso selaku Kepala Badan Intelejens Negara (BIN) tidak sesuai teori ilmu intelejens. Bahkan lebih tepat disebut sangat aneh dan tidak berkualitas", demikian tulis Derek, Sabtu, 23 April 2016 kemarin.

Memang, penangkapan yang dicurgai sarat kolusi dan kental upaya konsesi membuat banyak pihak bertanya, ?Apa sih yang bisa dibanggakan dari penangkapan seorang Samadikun Hartono?". Pasalnya,  masih ada 33 pengemplang BLBI lain yang masih belum jelas keberadaannya.

Selain cara bekerja yang demikian terbuka dan terkesan 'show off', publik juga bertanya, benarkah Sutiyoso, bekas Panglima Kodam Jayakarta sekaligus mantan gubernur DKI Jakartra ini pantas menjadi pimpinan badan intelejen negara yang semestinya dapat disejajarkan dengan CIA dan Mossad.

Mengapa harus mengacu pada 2 agensi rahasia dunia itu? Sederhana saja. Dua agensi rahasia itu, CIA milik Amerika dan Mossad milik Israel, digadang-gadang sebagai yang terbaik dan disegani dunia.

Agen CIA dan Mossad - mulai dari yang bertugas di lapangan sampai yang menjadi konseptor dari sebuah operasi intelejen, tidak pernh diketahui oleh publik. Banyak peristiwa internasional yang menarik perhatian dunia, setelah puluhan tahun terjadi baru diketahui bahwa di balik kejadian itu, berperan besar agen rahasia dari kedua negara tersebut.

Contohnya soal peristiwa G30S/PKI yang terjadi di Indonesia di tahun 1965 dan berakibat antara lain bergantinya rezim penguasa di Indonesia. Setelah 50 tahun, CIA baru mengungkapkan keterlibatan lembaga itu melalui dokumen resmi. Dan pengungkapan itu bukan karena kepentingan pribadi, melainkan karena kewajiban memenuhi Undang-Undang. Kewajiban untuk membuka kepada publik, semua peristiwa yang dinyatakan rahasia, setelah 50 tahun! Andai tak ada kewajiban tersebut, maka niscaya hingga hari ini, publik tidak akan mengetahui dalang di balik peristiwa tersebut. Jadi selama lima dekade itu tidak satupun agen CIA yang pernah mengklaim jasanya.

Persoalan menyimpan rahasia ini, menurut Derek Manangka lagi, sangat kontras dengan klaim Kepala BIN Sutiyoso dalam peranan lembaganya menangkap Samadikun Hartono.

"Maaf, baru menangkap Samadikun sudah merasa paling berjasa di republik", kritik Derek lagi.

Derek menilai, pekerjaan atau keberhasilan menangkap pelarian BLBI akan pantas dinilai hebat, kalau Sutiyoso melakukannya dalam kapasitas sebagai Gubernur DKI.

Derek mencontohkan, dalam peristiwa  pembebasan sandera Israel yang ditahan oleh rezim Idi Amin di Entebbe, Uganda pada 4 Juli 1976,  tidak sedikit pun pemimpin Mossad menggembar-gemborkan peranannya. Padahal yang dilakukannya - dari segi materi tidak bisa dinilai dengan uang. Berapapun besarnya. Sebab pembebasan itu menyelamatkan ratusan nyawa manusia.

Samadikun Hartono, bukanlah buronan kakap. Ditambah lagi kerugian yang disebabkannya masih terlalu kecil dibandingkan dengan biaya penangkapan dan "penyambutan"nya.

Derek mengibaratkan, Samadikun adalah maling ayam yang untuk menangkapnya perlu mengerahkan satu kompi pasukan elit dari TNI dan Polri.

Kisah ini menjadi semakin kontras dan memuakkan bila disandingkan dengan proses penangkapan ulama Abu Bakar Ba'asyir atau puluhan muslim yang diduga melakukan tindak terorisme. Mereka diperlakukan bak pesakitan bahkan tak segan nyawa mereka berakhir tanpa sempat melakukan perlawanan.

Tapi apapun ceriteranya, cara Kepala BIN mengekspos keberhasilan lembaga itu, cukup mendegradasi peran dan citra lembaga intelejen negara kita. Seandainya Samadikun adalah awak kapal yang disandera Abu Shayaf dan berhasil dibebaskan oleh agen rahasia Indonesa  wajarlah bila Sutiyoso menepuk dada dan memanfaatkan hal tersebut sebagai sebuah panggung eksistensi.

Tapi bila hal tersebut terjadipun, maka panggung itu tersedia hanya sebatas ajang pencitraan BIN sebagai lembaga, bukan panggung untuk Sutiyoso sebagai pribadi.