Erdogan Mengandalkan Kekuatan Rakyat, Bukan Dukungan Barat


By Yvonne Ridley*
(Jurnalis Inggris)

Dimanapun ada teroris atau kekejaman lain dimanapun di dunia dimana warga sipil tak bersalah dibunuh, para pemimpin AS dan Eropa biasanya segera mengecam kekerasan itu dan pelakunya, dan itu benar. Namun, saat elemen-elemen militer Turki meluncurkan sebuah percobaan kudeta yang dirancang, sesuai klaim, oleh para pengikut dari ulama yang berbasis di AS Fethullah Gulen, keheningan dari apa yang dipanggil sebagai benteng-benteng demokrasi sungguh menulikan telinga.

Satu per satu, dari Gedung Putih dan Downing Street hingga Bundeskanzleramt dan Elysee Palace, para politisi barat lamban dalam bereaksi secara publik. Hanya saat kudeta mulai terurai lebih cepat dari bola benang barulah kecaman terlemah akhirnya muncul secara pelan dan terbata-bata.

Saya menduga bahwa presiden Turki Recep Tayyip Erdogan tidak terkejut sama sekali dengan kelambanan politik bersama terhadap cepatnya berbagai peristiwa terjadi di negaranya awal bulan ini. Ia adalah, jika tak ada hal lain, seorang pragmatis yang mengetahui dengan baik ketidakjujuran dan bermuka duanya sekutu-sekutu Eropa dan NATO-nya.

Meskipun mendukung Eropa dan AS melawan Bashar Al-Assad di Suriah yang bertetangga, menyediakan beberapa pangkalan militernya untuk mereka pakai sembari mengecam Iran dan Rusia karena dukungan penuh mereka pada sang diktator Suriah, tak ada tali penyelamat hidup yang dilemparkan padanya saat ia disudutkan dimana kehidupan politik dan kehidupannya sendiri terancam.

Alih-alih berbalik meminta tolong pada sekutu-sekutunya di NATO, Erdogan beralih kepada rakyatnya dan meminta pertolongan mereka untuk mengalahkan kudeta militer. Ini adalah permintaan besar bagi sebuah populasi yang tak bersenjata tapi jawabannya melegakan saat rakyat Turki memberikan sebuah mandat yang akan membuat setiap tiran dan penguasa lalim di kawasan menggigil hingga ke tulang belakang.

Sekitar 250 warga Negara Turki membayar dengan nyawa mereka sembari mempertahankan Negara mereka dari militer penipu; itu merupakan tampilan keberanian yang membuat tank dan senjata terlihat tak berguna. Mereka menunjukkan pada semuanya agar dapat melihat bagaimana luar biasa dan besarnya kemampuan dari kekuatan rakyat.

Erdogan mungkin tidak mendapatkan 100% dukungan suara dari rakyat Turki tapi jelas dari respon mereka pada seruannya bahwa mayoritas besar diantaranya tak akan membiarkan pemimpin mereka yang terpilih secara demokratis digantikan oleh seorang diktator militer. Sepertinya pemikiran sepintas bahwa seseorang seperti Abdel Fattah Al-Sisi dari Mesir akan memimpin Turki membuat massa turun ke jalanan dan menentang tentara.

Para pemimpin kudeta menyebut bahwa mereka ingin mempromosikan dan menaruh sebuah demokrasi sekuler liberal, tapi tak ada yang demokratis atau liberal mengenai sebuah kudeta militer. Inilah mengapa rakyat Turki bangkit untuk melindungi demokrasi mereka yang berharga dan posisi Erdogan sebagai presiden terpilih mereka. Dibawah kepemimpinanya, ekonomi telah tumbuh pesat selama dekade terakhir dan kesehatan umum telah mengalami peningkatan sangat signifikan; rakyat mengapresiasi Erdogan dan partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) atas berbagai capaian ini.

Beberapa pengkritik sang presiden jelas kecewa bahwa kudeta tersebut gagal dan menggambarkannya sebagai seorang pemimpin brutal yang telah menyerang minoritas Kurdi, mengecilkan hak asasi manusia dan menganiaya elemen-elemen media. Kalau kita mau jujur, jika kehidupan sungguh buruk dibawah Erdogan kudeta itu akan sukses atau, setidaknya, bertahan jauh lebih lama dari hanya beberapa jam.

Kita di Barat harus berhenti bersikap sangat etnosentris mengenai masalah seperti ini, dan berhenti mendorong Negara lain diluar perbatasan Eropa untuk meniru demokrasi bergaya Barat; tidak ada system demokrasi yang one-size-fits-all (cocok untuk semuanya) dan kenyataannya jelas bahwa bangsa Turki bahagia dengan demokrasi yang mereka miliki. Sebagian besar dari mereka juga menganggap Kurdi sebagai sebuah ancaman teroris dan ratusan warga sipil Turki tak bersalah telah dibunuh dalam pengeboman dan serangan terror tanpa pandang bulu yang diklaim oleh kelompok-kelompok militant Kurdi.

Tindakan keras Erdogan pada Kurdi adalah sebuah pemenang suara, sama seperti tingkat persetujuan Margaret Thatcher yang meningkat saat ia mengambil pendekatan garis keras terhadap IRA selama apa yang dikenal sebagai Irish Troubles. Ini tak akan bertahan karena, jika tak ada hal lainnya, sejarah telah mengajarkan kita bahwa duduk di meja negosiasi dan membicarakan perdamaian adalah satu-satunya cara untuk memecahkan masalah Kurdi. Jika dan saat itu terjadi itu harus berada dibawah inisiatif Erdogan, bukan yang lainnya; bayangkan bagaimana Thatcher akan bereaksi (dan kemungkinan akan bereaksi) jika para presiden dan perdana menteri dari Negara-negara lain mencoba untuk memberitahunya bagaimana untuk menangani situasi di Irlandia Utara, yang merupakan dan masih sebuah bagian dari Inggris.

Barat tak bisa menerapkan sebuah demokrasi sekuler pada bangsa Turki yang nilai-nilai keagamaan, kebudayaan dan lainnya berlawanan dengan gerakan semacam itu. Memalukan bahwa penryataan-pernyataan kecaman tidak dirilis di seluruh dunia dalam beberapa menit setelah ada berita bahwa sebuah kudeta militer sedang berlangsung. Lebih lanjut, sementara para pemberontak militer menggambarkan kudeta mereka sebagai “sekuler” ini tak bisa lebih jauh dari kenyataan; tersangka utama dibaliknya adalah ulama-kultus Muslim Fethullah Gulen, yang membasiskan dirinya di AS dimana dari sana, diduga, ia mendapatkan pendanaannya.

Pemerintahan-pemerintahan Barat ragu-ragu saat kepentingan sendiri mulai beraksi saat berita kudeta itu tersebar. Kita hampir dapat mendengar suara-suara dari berbagai pertemuan kabinet darurat menanyakan, “apakah orang Gulen ini salah satu di pihak kita?”. Betul, pertanyaannya akan ada banyak tapi sepenuhnya terprediksi: Apakah ini berarti segerombolan pengungsi Turki yang mengarah ke Eropa? Bagaimana ini akan memengaruhi harga minyak? Dapatkah kita mengeksploitasi situasi ini untuk keuntungan kita sendiri? Apakah kita bisa menjual lebih banyak senjata? Akankah orang barunya bisa lebih patuh dibanding Erdogan? Bisakah kita menyalahkan Putin?

Disaat kudeta telah kacau beberapa perkataan remeh muncul dari pemerintahan-pemerintahan Barat, diikuti dengan berhari-hari penuh kecaman keras dari para pemimpin dunia memperingatkan sang presiden Turki untuk tidak memanfaatkan kudeta sebagai dalih untuk mengejar musuh-musuh politiknya. Kecemasan diekspresikan bahwa gerakan militer penipu ini telah memberikannya sebuah alasan untuk lebih memperkuat kekuasaannya.

Barack Obama menyebut bahwa ia secara khusus cemas melihat gambar-gambar di televisi yang menunjukkan perlakuan kasar pada beberapa pengkudeta setelah penahanan mereka saat mereka terlihat ditelanjangi hingga celana dalam mereka dan diborgol dibelakang punggung mereka. Tak diragukan bahwa bangsa Turki dan lainnya di seluruh dunia mendengar perkataan presiden AS ini tapi masih mengingat bagaimana ratusan pria tak bersalah disiksa, direndam air dan dilempar kedalam kandang di Guantanamo Bay, digunduli dan dibelenggu, setelah kejadian mengerikan pada 9/11.

Saya penasaran bagaimana mantan presiden AS George W Bush akan mengapresiasi perkataan yang menasihatinya menentang kebrutalan semacam ini dari sesama pemimpin-pemimpin Negara? Jutaan orang di seluruh dunia juga terkejut dengan rasisme terbuka yang ditunjukkan pada orang-orang kulit hitam, latin dan Meksiko di Amerika, tapi intervensi luar manapun tak akan ditoleransi. Disaat seperti ini, akan bijak bila orang-orang seperti Obama mengatakan sesuatu yang baik, atau tetap diam; catatan negaranya dalam hal semacam ini tak dapat dibanggakan.

Bahkan, ini sudah waktunya bagi Negara-negara Eropa dan Amerika Utara untuk meningkatkan standar hak asasi manusia di halaman belakang mereka sendiri, hentikan menakut-nakuti dan pembunuhan yang mereka lakukan atas nama demokrasi dan tunjukkanlah pertemanan secara tulus bagi yang mereka anggap sebagai sekutu. Efek dari kebijakan mereka yang sekarang akan terlihat hampir dimana saja.

Salah satu tragedi terbesar di Timur Tengah, sebagai contoh, adalah hilangnya Mesir (akibat kudeta -red), yang telah terjun dari sebuah demokrasi yang diperjuangkan dengan sulit menjadi sebuah kediktatoran militer yang brutal. Negara ini sedang mendirikan sebuah demokrasi liberal setelah sejarah panjang dari pengendalian oleh militer dan kediktatoran dan sudah jelas bahwa presiden yang terpilih secara demokratis pertama kalinya, Mohamed Morsi, ingin memperkenalkan perubahan secara bertahap, tapi ia dikritik karena melakukan terlalu sedikit dan secara perlahan. Saat ia mencoba mengencangkan hal-hal tersebut ia dituduh sebagai despot/lalim. Kudeta militer yang menggulingkannya terjadi karena Barat tidak memberikannya atau negaranya dukungan yang mereka butuhkan selama periode kritis saat ia mencoba membangun institusi-institusi demokrasi. Secara ekonomi dan internasional Mesir sekarang merupakan keranjang, dan Negara-negara gagal lain seperti Iraq, Suriah dan Afghanistan menjadi kesaksian dari kesalahan intervensi yang Barat lakukan dan kurangnya dukungan yang nyata, konstruktif.

Erdogan benar di malam terjadinya kudeta tidak memanggil (meminta bantuan) teman-teman plin plan-nya di Washington, London, Berlin atau Paris, justru memanggil rakyatnya sendiri; terlepas dari afiliasi politik mereka para pahlawan tanpa senjata ini mempertaruhkan hidup mereka untuk merestorasi demokrasi di Turki.

Mereka yang masih berkeras bahwa Recep Tayyip Erdogan adalah seorang diktator busuk harus menanyakan ini pada diri mereka sendiri: Siapa yang dalam pikiran waras mereka akan menghadapi laras senapan atau berbaring didepan sebuah tank yang melaju untuk melindungi posisi dari pria itu (Erdogan) bila ia (Erdogan) seburuk yang diklaim para pengkritiknya? Rakyat Turki telah mengajarkan kepada kita sebuah pelajaran tentang demokrasi; ini adalah hal yang harus Barat pelajari untuk diapresiasi.[]

[Ket. Foto: Turkish President Recep Tayyip Erdogan delivers a speech following the failed coup attempt in Turkey, in Istanbul on July 17, 2016.]

Sumber: middleeastmonitor.com