[portalpiyungan.com] Jumat, 15 Juli 2016, saat gelap mulai menyelimuti resort turis popular di Marmaris, Presiden Recep Tayyip Erdigan menerima panggilan telepon yang mengatakan padanya hidupnya dalam bahaya begitu pula dengan masa depan Turki.
Di ujung telepon seorang komandan militer memperingatkannya bahwa 3 helikopter militer Blackhawk membawa para prajurit pemberontak sedang dalam perjalanan menuju tempatnya dengan misi untuk membunuhnya atau menangkapnya.
Sang presiden berusia 62 tahun itu lalu dibawa pergi dibawah pengawalan bersenjata ke sebuah jet pribadi (pesawat Gulfstream 4) yang menunggu di sebuah lapangan udara terdekat saat 3 helikopter Blackhawk menyapu resort tempat ia tinggal. Tapi bahkan di udara terror bagi sang pemimpin Turki itu belum berakhir saat ia diberitahu ada 2 jet F-16 yang mengudara untuk menembak jatuh pesawat jet kepresidenan itu.
Hanya pemikiran cepat dari pilot-pilotnya menghindari bencana saat mereka mampu "menyamarkan" identitas jet kepresidenan Gulfstream dan menipu para pilot F-16 pemberontak untuk berpikir pesawat yang membawa Presiden Turki itu merupakan pesawat penumpang/komersil. (Baca: Begini Cara Erdogan Lolos Dari Sergapan F-16 Saat Kudeta)
Dua jam kemudian Erdogan sudah aman di Istanbul dan telah bersama mereka yang loyal padanya untuk menekan kudeta.
Pikiran dibunuh atau bahkan menjadi tawanan kemungkinan tak dipikiran oleh Mr Erdogan saat ia tiba di vila pribadi di Marmaris yang dimiliki oleh mantan pengemudi reli Serkan Yazici.
Ayahnya Ibrahim, yang meninggal dalam serangan jantung pada 2012, adalah teman dekat dari sang presiden berkat karir politiknya sendiri. Ibrahim adalah seorang anggota parlemen Turki 2 periode dari 1996 hingga 2002, sebagai seorang deputi dari partai ANAP dan DYP.
Keluarganya memiliki hotel Yazici Mares dan sebuah hotel yang berdekatan, The Grand Yazici Club Turban, dimana turis-turis Inggris terbangun dengan suara tembakan saat pasukan kudeta mencoba membunuh sang presiden.
Erdogan kemudian mengakui ia terhindar dari kematian (di malam itu dari serbuan pasukan kudeta) hanya sekitar 15 menit dan memuji telepon dari Komandan First Army Jenderal Umit Dundar satu jam sebelum kudeta dimulai yang menyelamatkan hidupnya.
Menurut berbagai laporan media Turki komandan Dundar memberitahunya pasukan pemberontak mengarah menuju villanya di resort Marmaris untuk entah membunuhnya atau memenjarakannya.
Saat jet seharga 30 juta pound itu mengudara 3 helikopter serbu membawa para pasukan khusus mendekati vila liburan itu.
Para prajurit kudeta menyerbu hotel yang mencari presiden Erdogan untuk entah menangkap atau membunuhnya – tapi mereka 15 menit terlambat.
Para prajurit yang loyal kepada sang presiden terlibat dalam kontak senjata dengan para pemberontak.
Turis yang tinggal di hotel itu terbangun oleh suara helikopter Blackhawk terbang rendah dan lalu tembakan senjata saat pertempuran menghebat.
Diantara mereka yang ketakutan oleh pertempuran senjata itu adalah keluarga Dignan yang dipaksa untuk berlindung di lantai tempat tidur mereka.
Mike dan istrinya Sarah berbaring berdempetan bersama saat tembakan senjata terjadi.
Mr Dignan, dari Rosyth, Skotlandia, memberitahu koran Sunday Post tentang yang terjadi bahwa itu merupakan ‘malam terkelam dalam hidup mereka.’
Dia menceritakan: ‘Saya terbangun oleh sebuah guncangan besar. Saya kira ada tank. Ternyata itu adalah helikopter militer. Mereka berwarna hitam jadi kami hampir tak dapat melihat mereka di kegelapan.'
‘Mereka menyinari hotel di sebelah. Kami mulai mendengar tembakan senjata kecil. Sehabis itulah ada tembakan dan lalu itu menjadi lebih keras.'
‘Polisi mulai menembaki helikopter itu. Lalu helikopter itu mulai menembak balik. Kami mengurung diri kami sendiri didalam kamar.'
‘Kami mendengar teriakan dan orang-orang lari keluar kompleks kami, beberapa melewati pintu kami. Beberapa (tentara kudeta) mencoba untuk menuju hotel di sebelah untuk mendapatkan Erdogan dan polisi melawannya.’
Seorang pekerja IT, Mike (40), dan pekerja bakery Sarah (39), hampir 2 minggu dalam liburan mereka di Marmaris saat kudeta diluncurkan pada Jumat malam.
Tamu hotel lain, Gertjan de Graaf, dari Belanda, menyebut: ‘Kami tak tidur sama sekali tentunya, tapi saya masih tak capek.'
‘Saya ragu saya akan tidur lelap malam ini. Seorang Turki pagi ini memberitahu kami bahwa kami harus kembali ke Belanda.'
‘Kami tak mau, tapi sekarang sepertinya kami akan dikirim ke hotel lain. Pikiran saya dihantui. Bagaimana jika militer kembali ? Resort ini entah bagaimana masih terhubung dengan Erdogan.’
Mr de Graaf dan keluarganya tiba kembali di hotel mereka sekitar jam 11.30 malam dimalam kudeta, menyalakan tv dan melihat berita mengenai kekacauan di Turki.
‘Saya rasa ini buruk bagi orang-orang Turki, tapi Istanbul dan Ankara sangat jauh (dari Marmaris), jadi saya tak perlu khawatir dan pergi tidur.’
Tapi mereka terbangun sekitar pukul 3.30 am oleh suara tembakan senjata -yang awalnya mereka kira kembang api- dan istrinya Theresa pergi ke pintu untuk melihat apa yang terjadi.
Theresa melihat pemandangan para pemberontak militer berlarian di hotel dipersenjatai dengan senapan mesin.
‘Theresa ingin lihat apa yang terjadi, tapi ia menemukan dirinya berhadapan face to face dengan seorang prajurit dengan senapan mesin ditangannya,’ lanjut Mr de Graaf menceritakan.
Para prajurit ini berteriak dengan bahasa inggris tak bagus: 'Where Erdogan stay? Erdogan stay?'
De Graaf membangunkan anak-anaknya dan keluarga ini bersembunyi di kamar mandi, putrinya menangis.
Polisi lalu tiba sekitar jam 5 pagi dan ada lebih banyak tembakan senjata, ledakan dan helikopter mengudara.
‘Terus terjadi. Secara sporadik kami mendengar ledakan keras,’ sebut Mr de Graaf, yang tidak meninggalkan kamar mandi hingga jam 6 pagi saat semua telah mereda.
Dua peluru telah memecahkan kaca di jendela kamar. Handuk yang bergantung diluar balkon terkena 7 peluru. Keluarga ini tak diperbolehkan meninggalkan kamar mereka hingga jam 9 pagi.
Sumbe: Daily Mail