Larangan Takbir Keliling, Sebuah Ujian Keimanan Bagi Umat Muslim DKI Jakarta



[portalpiyungan.com]  Larangan takbir keliling sebagai bagian dari perayaan Idul Fitri pada tahun 2016, telah dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Dengan berbagai alasan, takbir keliling apalagi yang disertai konvoi kendaraan dianggap membahayakan keselamatan warga DKI Jakarta.

Tak main-main, bersembunyi di balik Wakilnya, Ahok sebagai kepala pemerintahan kota Jakarta, menegaskan akan mengerahkan polisi untuk menghadapi umat yang nekad melakukan takbir keliling.
Mengapa dikatakan Ahok bersembunyi? Karena secara de facto, yang mengeluarkan larangan adalah Djarot, Wakil Gubernur DKI Jakarta. Tentu tidak mungkan bukan, sebagai Wakil Gubernur Djarot mengeluarkan larangan tanpa sepengetahuan Ahok?!

Sementara di kota lain seperti Bogor, Bandung, bahkan di seluruh Jawa Timur, umat Islam bisa bebas bertakbir dan mensyiarkan kemegahan asma Allah, di Jakarta, umat Islam harus menghadapi ujian keimanan yang luar biasa.

Sebenarnya, jika mau sedikit mencoba mengingat dan menganalisis kebijakan-kebijakan menyangkut konsentrasi massa di Ibukota, dengan ,mudah bisa ditemukan dalih utama dari pelarangan takbir keliling ini.

Sedikit menyegarkan ingatan, perayaan pergantian tahun masehi di Jakarta digelar begitu semarak dan meriah, dengan panggung kesenian berjajar di jalan protokol Jakarta. Begitu pula perayaan Imlek yang bahkan digelar di hampir setiap mal dan plaza di Ibukota.Begitu pula perayaan Cap Go Meh, perayaan yang digelar 15 hari selepas perayaan Imlek digelar sangat meriah. Bahkan, untuk pertandingan sepakbola saja, pemprov DKI Jakarta rela mengerahkan pasukan keamanan untuk mengawal berlangsungnya pertandingan. Lalu  mengapa pemerintah provinsi DKI Jakarta alih-alih memfasilitasi dan mengawal, malah bersikap begitu anti pada kegiatan takbir keliling?

Ada yang beranggapan, larangan ini tak lebih merupakan sebuah upaya untuk menguji respon umat Islam Jakarta. Sebagai ibukota negara, respon publik Jakarta yang sangat heterogen dianggap menjadi sebuah indikator untuk pengambilan kebijakan publik yang bersifat nasional.

Jika respon umat Islam Jakarta terhadap larangan takbir keliling ini terkesan "adem", maka bisa dipastikan, umat Islam di Jakarta bisa menerima masuknya paham sekularisme dengan baik. Karena 'adem'nya respon tersebut menjadi sebuah pertanda lunturnya budaya dan tradisi keislaman umat di Jakarta.

Namun bila responnya cukup "keras", maka bisa dipastikan, pemerintahan yang bersifat sekuler, masih akan menemui banyak kendala dalam pendekatan sosial bagi pemerintahan Jokowi yang dinilai oleh beberapa kalangan di luar negeri sebagai pemerintahan yang berpaham liberal.

Secara bercanda, seorang rekan mengatakan bahwa umat muslim DKI Jakarta sedang menghadapi ujian iman dengan memiliki seorang pemimpin kafir.

"Punya pemimpin kafir memang seperti mendapat ujian keimanan ya Bro," demikian pesan singkat seorang rekan dari Padang.

Pesan tadi masih halus dibandingkan dengan sorang netizen yang mengatakan bahwa umat Islam Jakarta sedang dihukum Allah.

"Orang Jakarta sedang dihukum Allah dengan kehadiran si jamban. Suram,: demikian ungkap netizen @ardianasmar.

Maka, jika kini kita sudah mengetahui latar belakang larangan takbir keliling di DKI Jakarta, respon apa yang akan diberikan untuk menanggapi larangan itu? Semua kembali ke keberanian warga DKI Jakarta menyatakan identitas keimanan mereka sebagai muslim.