Teror Bandara dan Normalisasi Turki-Israel-Rusia


Oleh: Arya Sandiyudha, PhD
(Doktor Ilmu Politik Fatih University)

TURKI kembali berhadapan dengan aksi teror. Kali ini menghantam objek vital nasional (obvitnas) Turki yang menjadi indikator sektor wisata, yakni Bandara Internasional Ataturk (Ataturk Havalimani) di Istanbul. Peristiwa terjadi sekitar pukul 22.00 waktu Turki, bersamaan dengan waktu sahur di Indonesia. Ada tiga kali ledakan bom, menarget pintu keluar keberangkatan dan kedatangan penerbangan luar negeri. Hingga saat ini terdapat 42 korban jiwa, dan 239 orang terluka. Akibat kejadian itu, semua akses ke bandara dinonaktifkan. Semua penerbangan dialihkan ke bandara lain. Para teroris melemparkan bom tangan ke tempat pemeriksaan x-ray dan pada saat itu juga para teroris bentrok dengan pihak keamanan dan polisi.

Seorang teroris menembak sekelilingnya dengan AK-47, lalu meledakkan dirinya. Para teroris itu datang dari luar negeri dengan pesawat, serta sempat membuat persiapan di dalam bandara, tanpa sepengetahuan pihak keamanan.

IS makin incar Turki

Mungkin penyerangan kali ini dilakukan IS. Aksi teror kali ini mengambil model Brussels, Belgia, beberapa bulan lalu. Menargetkan wisman dan orang asing, maka berikutnya guncangan pada sektor wisata Turki dipastikan terjadi.

Ironis, sebab Turki tengah melakukan proses normalisasi dengan Israel dan Rusia. Dari Israel diharapkan keuntungan ekonomi melalui gas, dari Rusia diharapkan lonjakan jumlah wisman mancanegara. Selain itu, Turki berharap meredakan permainan Rusia melalui proxy-nya, yakni TAK (Teyrebazen Azadiya Kurdistan Elang Kebebasan Kurdi), kelompok sempalan dari PKK (Partiya Karkeren Kurdistane)-Partai Pekerja Kurdistan.

Masalahnya, siapa yang dapat meredam barbarisme agresivisme IS terhadap Turki? Kejadian ini menjadi lanjutan tragedi rangkaian intensif sejak akhir 2015 yang mengakibatkan jatuhnya ratusan korban jiwa, di saat sebagiannya dilakukan IS. Oktober 2015 dalam kampanye damai Kurdi di Ankara, double suicide bombings memakan 100 korban jiwa. Januari 2016 di Istanbul, bom bunuh diri IS mengakibatkan 12 wisman Jerman tewas. Februari 2016 di Ankara, ledakan menewaskan 28 korban jiwa. Maret 2016 di Ankara, jatuh Kizilay 37 orang tewas, Taksim 5 tewas akibat bom bunuh diri IS. Belum sebulan dari bom mobil Istanbul yang menewaskan 11 korban jiwa oleh milisi Kurdi, lalu terjadi teror Bandara Ataturk.

Siapa menang

Ada yang menduga IS semakin agresif sejak ide normalisasi Turki-Israel digulirkan sejak era PM Ahmet Davutoglu. Meski dilihat dari habit IS di lapangan yang menyerang pengungsi Suriah di Kili Turki, menyerang pengungsi Palestina di Yarmouk Suriah, menyerang sesama muslim pejuang oposisi rezim Assad, sangat meragukan IS menyerang Turki dengan logika Islam, syariah, atau bahkan dalil jihad yang benar dan kukuh. Artinya, ide Turki tentang normalisasi hanyalah justifikasi baru IS yang sudah lama mengincar Turki. Meski demikian, harus diakui kebijakan itu berdampak pembelahan di akar rumput pendukung partai pemerintah AKP Turki.

Ketika menetapkan tiga syarat: 1) Israel meminta maaf ke Turki, 2) Membayar ganti rugi kepada keluarga korban Mavi Marmara, 3) Membuka blokade Gaza untuk pengiriman bantuan. Beberapa kalangan gerakan Islamis dan nasionalis mencatat ketika syarat tersebut disetujui Israel, ini bukan kemenangan sepihak bagi Turki. Israel juga menang banyak. Pertama, mengenai terbukanya jalur bantuan ke Gaza. Di satu sisi, Turki akan bangun rumah sakit, sistem kanalisasi air (bantuan air jernih kerja sama dengan Jerman), listrik, dan infrastruktur lainnya. Di sisi lain, Turki dipaksa mengakui blokade Jalur Gaza karena bantuan ke Gaza dari Turki musti melalui Pelabuhan Ashdod berkoordinasi secara ketat dengan Israel.

Kedua, di satu sisi, Israel akan memberikan ganti rugi korban Mavi Marmara sebesar US$21 juta dan akan ditransfer ke salah satu yayasan di Turki. Di sisi lain, Turki diminta membantu Israel dalam hal lobi pembebasan tentara Israel yang ditawan di Gaza. Turki juga mesti membatalkan dakwaan terhadap perwira-perwira Israel yang telah membunuh korban Mavi Marmara. Ketiga, di satu sisi, Israel dituntut minta maaf kepada Turki. Di sisi lain, Turki diminta tidak mengizinkan wilayah negaranya untuk digunakan kegiatan Hamas dan organisasi sejenis yang memiliki sikap antikolonialisasi Israel.

Keempat, kebijakan normalisasi Turki Israel ini juga berarti dimulainya kembali dan penguatan kerja sama intelijen Turki-Israel serta kerja sama penyaluran gas Israel ke negara-negara Eropa dari Israel melalui Turki dimulai kembali.

Dalam upaya Turki menguatkan ekonominya, dampak politik keamanan dari normalisasi juga sangat besar. Akhirnya bila terjadi distabilitas politik keamanan terus akan meruntuhkan ekonomi juga.

Pembelahan akar rumput

Ancaman distabilitas politik keamanan jelas terbuka ketika pemerintah dihadapkan dukungan akar rumput yang terbelah. Misalnya, para aktivis IHH, salah satu yayasan kemanusiaan terbesar yang mayoritasnya pendukung partai pemerintah AKP, kali ini mengalami pembelahan sikap. Sebagiannya kecewa dengan keputusan yang diambil pemerintah AKP Turki dan memperingatkan keras akan track record Israel yang tidak bisa dipercaya.

IHH, sebagai perwajahan Milli Gorus yang dulu didirikan Necmettin Erbakan, pesimistis normalisasi hubungan Turki-Israel berusia lama dan Gaza berpotensi untuk kembali dibombardir Israel. Israel dilihat menyetujui tiga prasyarat Turki dengan kompensasi jaminan Turki atas ancaman keamanan mereka di kawasan. Juga sebab Turki mau bekerja sama menyalurkan gas Israel ke Eropa, ini di antara yang paling menguntungkan mereka di tengah penurunan drastik situasi ekonomi domestik Israel.

Pembelahan sikap akar rumput Turki tentu perlu jadi atensi karena selama ini Turki yang menjadi satu-satunya negara damai di tengah kekacauan kawasan membutuhkan soliditas di tengah ragam ledakan terakhir di dalam negeri. Maka perkembangan selanjutnya bergantung pada efektivitas normalisasi. Apakah normalisasi dengan Rusia efektif meredam intervensinya terhadap TAK-PKK militan Kurdi, serta kemudian mendongkrak wisman.

Apakah normalisasi dengan Israel efektif untuk membantu Gaza, serta meningkatkan ekonomi secara drastis melalui gas. Melunak tidaknya Milli Gorus dan surut tidaknya pemilih AKP di domestik Turki pun menunggu hal tersebut meskipun sukses tidaknya normalisasi tetap masih menyisakan IS sebagai dinamisator utama konflik kawasan yang entah bagaimana mengendalikannya.[]